Selasa, 13 September 2011

Lebaran Part 2 : Tradisi Silaturahmi dan Membawa Buah Tangan

Semula, kami berencana mudik ke Wonogiri hari Rabu pagi tanggal 31 Agustus. Tapi karena pas nyampe rumah habis mudik dari Jogja, pintu rumah nggak bisa dibuka dengan cara baik-baik alias bisanya cuma dengan cara didobrak beramai-ramai dibantu para tetangga, Rabu pagi itu kami baru bisa mudik ke Wonogiri agak siangan. Suami mesti menyiasati pintu rumah terlebih dahulu agar rumah tetep aman selama kami tinggal mudik ke Wonogiri. Hmmm … nasiiiiib … nasib!
Kami nyampe di rumah mertua di Wonogiri sekitar jam 10.30. Jalanan Solo-Wonogiri padaaaattt. Banyak para pemudik masih berada di perjalanan. Orang-orang yang mau pergi untuk bersilaturahmi ke rumah kerabat maupun saudara juga ikut menambah kepadatan jalanan.
Sesaat setelah istirahat sebentar, kami berdua sungkem kepada bapak dan ibu mertua. Habis itu dengan saudara-saudara. Karena sebagian warga di kampung mertua merayakan Idul Fitri pada hari Rabu itu, maka hari itu rumah bapak ibu mertua masih banyak dibanjiri saudara maupun kerabat yang berdatangan untuk bersilaturahmi. Sementara silaturahmi ke rumah simbah baru bisa malam harinya.
Niat awal, selama mudik di Wonogiri, kami akan jalan-jalan. Hihihi … Tapi ternyata, toko ibu mertua kebanjiran pembeli. Sejak kami datang hingga kami balik ke Solo hari Sabtu pagi, tokonya masih aja ramai banyak pembeli yang datang. Jadilah selama mudik di Wonogiri, kami (bersama mas-mas dan mbak-mbak ipar) ikut jadi pelayan dadakan. Suami juga ikut kulakan dagangan yang pas hari Lebaran ternyata habis karena diserbu pembeli.
Dari pengalaman jadi pelayan dadakan selama tiga hari itu, saya menemukan perbedaan soal hubungan kekerabatan antara orang-orang di daerah mertua saya dengan orang-orang di daerah asal saya. Di daerah mertua saya, kunjungan ke rumah kerabat atau saudara masih aja ramai berlangsung sampai hari keempat Lebaran saat kami balik ke Solo. Setiap kali mereka akan bersilaturahmi ke rumah saudara atau kerabat, orang-orang di daerah mertua saya sibuk mencari buah tangan. Gula pasir, teh, kue-kue kering, permen, bahkan mi instan bisa menjadi pilihan untuk mereka bawa sebagai buah tangan. Setiap kali belanja untuk satu kunjungan silaturahmi, nilai barang yang dibelipun juga termasuk luamyan tinggi.
Saya salut sekaligus takjub melihatnya. Mereka bukanlah orang berduit yang bekerja kantoran dengan gaji tinggi. Tapi, mereka hanyalah orang kampung yang hidup di desa terpencil yang setiap harinya bergulat dengan sawah. Sebagian di antara mereka adalah para perantau seperti di Jakarta dan daerah-daerah di Pulau Sumatra yang bekerja sebagai pedagang bakso, mi ayam, es, atau jamu. Bahkan banyak pula yang bekerja sebagai pelayan warung bakso atau mi ayam milik orang-orang setempat di tanah perantauan. Tapi, saya melihat mereka tak melupakan hubungan kekerabatan dengan sanak saudara di kampung halaman meskipun mereka lama di tanah perantauan. Mereka pun juga suka saling memberi oleh-oleh. Yaaah … meskipun mungkin penghasilannya tidaklah tinggi. Kepada keluarga atau saudara jauh, yang muda berkunjung ke rumah orang yang lebih tua dan memberi hadiah berupa buah tangan. Apalagi dengan keluarga ataupun saudara dekat, yang muda pastilah juga berkunjung ke rumah orang yang lebih tua dan tak lupa membawa oleh-oleh. Saya salut dengan sikap mereka yang tetap menjaga hubungan kekerabatan dan pertemanan meskipun lama terpisah jarak. Soalnya banyak loh yang udah lama nggak ketemu, lama-lama jadi putus hubungan silaturahmi.
Setelah menjadi pelayan dadakan selama tiga hari itu, saya jadi melihat ada perbedaan drastis dengan apa yang saya alami di daerah asal saya. Orang-orang di daerah asal saya berbeda dengan orang-orang di daerah asal suami saya. Di daerah asal saya, orang-orang cenderung agak cuek dengan silaturahmi ke rumah kerabat atau saudara, apalagi teman, pada saat Lebaran. Orang-orang biasanya sibuk pergi bersilaturahmi pada hari pertama Lebaran. Hari kedua sudah mulai sedikit. Kemudian hari ketiga dan seterusnya, hanya tinggal sedikiiiiit sekali. Mungkin tinggal satu atau dua orang aja. Untuk kerabat yang tidak dekat pertalian darah, biasanya cenderung cuek. Bahkan di keluarga saya, anak saja tidak selalu datang kepada orangtuanya pada saat Lebaran. Cucu tidak selalu datang ke rumah kakek neneknya untuk ‘melebur dosa’. Adik juga tidak selalu datang ke rumah kakaknya. Bahkan meskipun rumah di antara mereka tidak jauh, bisa ditempuh dengan waktu tak sampai 15 menit. Hubungan kekeluargaan seolah-olah menjadi tipis, asing.Parah banget ya? Menyedihkan. Kondisi itu sangat jauh berbeda dengan hubungan kekerabatan di keluarga maupun masyarakat di daerah asal suami saya. Di sana sangat dekat satu sama lain, meskipun itu tidak ada hubungan pertalian darah.
Itu tadi baru soal berkunjung. Soal memberi hadiah atau buah tangan, itu pun juga berbeda dengan di daerah asal suami saya. Tapi, ini bagi orang-orang yang sudah berkeluarga, lho. Jika di daerah asal suami saya, orang-orang di sana suka memberi buah tangan, lain halnya dengan di daerah asal saya. Tidak semua orang atau bahkan tidak banyak orang yang suka memberi buah tangan. Bahkan di antara keluarga dekat sekalipun. Entah itu anak kepada orangtuanya, adik kepada kakaknya, yang muda kepada yang tua, cucu kepada kakek neneknya, tak banyak yang membawa buah tangan saat datang bersilaturahmi. Umumnya, mereka datang badan aja.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa hubungan kekeluargaan tidak harus ditunjukkan dengan saling berkunjung dan saling memberi buah tangan, utamanya dari yang muda kepada yang tua. Terlebih lagi kunjungan dan saling memberi buah tangan itu tidak perlu dilakukan pada saat Lebaran. Juga tidak pada hari-hari yang lain. Tapi, itu tidak menurut saya. Hubungan kekeluargaan harus ditunjukkan dengan saling peduli. Dan bentuk kepedulian itu diwujudkan dengan saling berkunjung untuk saling bertukar kabar dan merekatkan hubungan. Atau bisa juga menghubungi lewat telepon atau lewat media lainnya jika memang tidak memungkinkan untuk berkunjung karena ada hambatan jarak. Dan Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri adalah momen bagi seluruh anggota keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar, untuk berkumpul dan bersilaturahmi. Saling bermaaf-maafan dan mempererat hubungan kekeluargaan. Dan memang, silaturahmi pada saat Lebaran tidak harus disertai dengan memberi oleh-oleh atau buah tangan. Tapi, kok rasanya aneh saat kita berkunjung ke rumah keluarga atau saudara (apalagi kepada yang lebih tua), tapi kita hanya datang badan aja. Kalau dalam istilah Jawa, ora patut.
Tapi, sekali lagi, ora patut itu menurut hemat saya. Orang yang diberi oleh-oleh akan tambah senang. Udah dikunjungi, dikasih oleh-oleh lagi. Apalagi yang memberi oleh-oleh, tambah lebih senang lagi. Soalnya bisa memberi kebahagiaan pada orang yang diberi. Tapi, menurut orang lain bisa jadi beda-beda. Mungkin ada yang berpendapat tak perlu datang bersilaturahmi ke rumah orangtua, kakek nenek, pakdhe, budhe, paklik, bulik, om, tante, pada saat Lebaran. Jikapun datang, tak perlu membawa oleh-oleh. Cukup datang badan aja. Semua itu bergantung pada masing-masing orang bagaimana akan bersikap kepada keluarganya maupun orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar