Setiap
orang pasti punya sebutan sendiri-sendiri saat memanggil pasangan hidupnya,
istri atau suaminya. Bukan panggilan sayang lho maksudnya. Maksudnya, ada yang
saling ber-aku kamu, ada yang ber-lo gue, ada yang langsung menyebut nama
masing-masing, ada juga yang menyebut ayah-bunda-ibu-mama-papa-ummi-abi-abah,
dan ada pula yang lainnya. Setiap orang memiliki alasan masing-masing saat mengunakan
panggilan atau sebutan pada pasangannya.
Demikian
pula dengan saya dan suami saya. Dari awal, suami saya memanggil saya “njenengan”.
Pada awalnya, saya risih dipanggil begitu. Kesannya kok gimanaaaaa gitu
dipanggil dalam bahasa Jawa Kromo Inggil/ halus. Saya kan perempuan yang
notabene istrinya. Kayaknya kok terlalu tinggi, gitu. Yang paling pas menurut
saya, saya yang memanggil suami “njenengan”. Sementara suami bisa memanggil
saya apa saja, bisa “kamu” atau yang lainnya. Tapi kata suami waktu itu, dia
memanggil saya dengan “njenengan” yang berarti kamu tetapi dalam bahasa Jawa
Kromo Inggil, dan bukan “kowe” (bahasa Jawa Ngoko/ kasar), “sampeyan” (bahasa
Jawa Krama Madya), atau yang lainnya, karena saya adalah wanita yang dia
hormati. Seorang wanita yang menjadi pendamping hidupnya yang dia hormati. Oleh
karena dia menghormati itulah, menurut dia, dia tidak mau memanggil saya dengan
panggilan atau sebutan yang sama seperti ketika dia memanggil orang lain.
Uhuiii! :-D
Gimana
perasaan saya saat itu, Sodara-Sodara? Sangaaaat terharu. :-D Oooh … begitu ya
dia ternyata padakuuuuu? :-D Trus kalau sekarang, gimana perasaan saya? Hmmhh …
gimana yaaa? Soalnya, teteeeep terharuuuu. :-D
Dan
hingga saat ini, suami saya tidak pernah memanggil saya “kamu”, “kowe”, “ente”,
apalagi “elo”. Gubrak! Saya bisa nggeblak sendiri kali kalau suami saya ber-lo
gue dengan saya. Meskipun pada awalnya risih, tapi makin lama, saya merasakan
kenyamanan saat dipanggil “njenengan” oleh suami saya. Rasanya gimana yaaaa.
Mesra gitu rasanya. Hehehe … :-D
Ketika
sekarang sudah punya anak, panggilan itu kadang diganti. Karena kami membiasakan
gadis kecil kami memanggil saya “ummi” dan suami saya “abi”, maka panggilan
saya ke suami juga kadang berubah. Kadang saya memanggilnya “abi”. Demikian
juga kadang suami saya memanggil saya “ummi”.
Saat
suami dalam keadaan sedang marah (tapi bukan marah-marah lho ya, soalnya suami
saya selalu ada alasan sangat kuat jika pada suatu saat dia marah dengan saya),
suami saya masih tetap memanggil saya “njenengan”. Jleeeebbb deh hati saya! Hihihi
… Ternyata, dalam keadaan marah sekalipun, suami saya tetap memanggil saya “njenengan”
dan tak lantas memanggil “kamu” atau “kowe”.
Lalu,
gimana sebaliknya dengan saya? Sebagai istri, saya menempatkan suami sebagai
sosok yang sangat saya hormati. Saya pun selalu memanggil “njenengan” kepada
suami saya. Lantas, apakah saat saya sedang marah, saya juga tetap memanggil “njenengan”
seperti halnya suami saya saat sedang marah dengan saya? Jawabannya, iya. Dalam
keadaan sedang marah pun, saya tetap memanggil “njenengan” kepada suami. Tak
hanya itu, panggilan sayang juga tetap dipakai –karena kami punya panggilan
sayang. Tapi nggak disebutkan di sini ah, maluuuuuu. ^_^v
Sejak
awal, tidak ada perjanjian ataupun pembahasan antara saya dan suami apakah akan
tetap ber-“njenengan” di kala sedang marah, tapi kami secara otomatis begitu.
Marah tidak lantas menjadikan melupakan kemesraan dan juga penghormatan pada
pasangan. Bukan mentang-mentang sedang marah, maka saya atau suami lantas memanggil
dengan panggilan kasar. Karena pada dasarnya kami saling sayang, sama seperti
pasangan suami istri lainnya yang juga saling sayang. Jadi, tak ada alasan bagi
kami untuk tidak menghormati pasangan walau sejenak saat sedang marah. Marah ya
marah, tapi tidak lantas marah-marah. Marah ya marah, tapi tidak lantas tidak
menghormat. :-D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar