Senin, 19 Agustus 2013

Rebusan Kayu Secang, Obat Alami untuk Impetigo


Bismillaah… Mau ngerekam saat Aufa kena impetigo saat bulan Ramadhan kemarin. Nggak apa-apa deh ya telat. Hihi …. Awal Ramadhan kemarin Aufa terkena impetigo alias suleden, dalam istilah Jawanya. Awalnya suami mengira itu adalah cacar air, tapi saya tidak melihat ciri-ciri cacar air pada Aufa. Saya jadi teringat dengan anak tetangga yang beberapa bulan lalu mengalami seperti yang dialami Aufa.
Jadi begini … di tubuhnya Aufa muncul lepuhan-lepuhan. Jenis lepuhannya mirip seperti jika kita terkena cipratan minyak goreng panas. Di dalam lepuhan itu ada cairan bening. Jika lepuhan itu pecah, cairan itu pun merembes di atas permukaan kulit di sekitar lepuhan. Dan cairan itu menular. Naaah, itu dia yang menjadi big problem. Karena gerakan tangan dan jari-jemari Aufa sulit dikontrol, Aufa susah sekali dijaga dari garuk-garuk. Apalagi saat Aufa kami tinggal sendiri, dia main sendiri, misalnya. Kami yang tidak menunggui Aufa main jadi tidak tahu apakah Aufa menggaruk-garuk ataukah tidak. Tapi karena Aufa termasuk suka gerak-gerak, jadi sangat mungkin jika Aufa menggaruk-garuk bekas lepuhannya itu.
Sebelum dan selama muncul lepuhan-lepuhan itu badan Aufa tidak hangat ataupun panas. Nafsu makan Aufa juga baik-baik saja, dia tidak mogok makan. Hanya saja pada hari pertama muncul lepuhan, Aufa kayak pilek. Hidungnya sentrup-sentrup kayak ada ingus beningnya. Tapi itu cuma sehari saja. Setelah satu hari sentrup-sentrup, habis itu udah nggak ada lagi. Malamnya juga hidung Aufa juga nggak mampet. Kalau pilek, malam hari hidungnya Aufa mampet dan jadi bikin dia susah bernafas.
Lepuhan itu awalnya munculnya hanya satu, di paha kanannya. Awalnya kecil, tapi lama-lama membesar —meskipun tidak besar sekali. Keesokan harinya lepuhan itu pecah. Dari situ, muncul lepuhan selanjutnya di dada kanannya. Itu mungkin terjadi karena saat Aufa jongkok, paha kanannya menempel pada dada kanannya sehingga muncullah lepuhan di dada kanan. Tak seperti lepuhan di paha kanan, lepuhan di dada kanannya itu jumlahnya lumayan banyak, bergerombol. Dari situ, muncul di pinggang, dengkul kiri, hidung, pipi, dahi, leher, punggung, selangkangan, dan muncul di paha kanannya lagi.
Melihat itu, kami berdua khawatir. Saya pun akhirnya tanya-tanya ke sebuah grup di FB. Di sana, saya dapet pencerahan bahwa kemungkinan Aufa tidak terkena cacar air (soalnya awalnya ayahnya Aufa keukeuh kalau Aufa kemungkinan besar terkena cacar air). Setelah saya jelaskan seperti apa yang diderita Aufa plus ciri-cirinya, salah seorang dokter di grup tersebut menyebut jika kemungkinan Aufa terkena impetigo atau pemfigus. Kalau impetigo, cairannya jernih. Tapi kalau pemfigus, cairannya keruh kehijauan. Karena cairan dari lepuhannya Aufa adalah jernih, kemungkinan besar Aufa kena impetigo. Impetigo ini penyebabnya bakteri yang persebarannya lewat udara atau air. Untuk lebih jelasnya apa itu impetigo, bisa tanya ke mbah google yaaa. :-D
Setelah dapet pencerahan itu, akhirnya pada suatu sore kami membawa Aufa periksa ke dokter umum tak jauh dari rumah kami. Saat diperiksa, ibu dokternya bilang bahwa apa yang diderita Aufa positif bukan cacar air. Menurut ibu dokternya, itu adalah suleden. Penyebabnya bakteri. Penyebarannya bisa lewat udara atau air. Oleh dokternya, kami diberi salep dan 10 bungkus puyer yang berisi antibiotik. Salep itu dioleskan sehari tiga kali. Sedangkan puyernya diminumkan 2 kali setiap harinya.
Sesampainya di rumah, kami oleskan salep itu pada lepuhan dan bekas lepuhan. Tapi puyernya kami tahan tidak kami berikan dulu. Kami berdua masih takut untuk meminumkan antibiotik pada Aufa yang notabene masih 17 bulan.
Dua hari setelah diolesi, lepuhannya masih tumbuh dan melepuh di tempat yang berbeda-beda. Melihatnya, saya dan suami makin sedih. Setelah ada beberapa masukan, saya dan suami akhirnya membawa Aufa ke dokter kulit. Oleh dokter kulit, Aufa dinyatakan impetigo. Waktu saya tanya, impetigo itu suleden bukan ya Dok? Dokternya bingung. Iya kayaknya, Mbak. Itu istilah jawanya kayaknya. :-D Hihihi … sudahlah, istilahnya biarin aja. Yang penting udah ketahuan Aufa kenapa. Oleh dokter kulit, Aufa dikasih puyer antibiotik, salep, dan sebotol sirup.
Naaah … di sini ini yang bikin saya dan suami syok. Saat di kasir, si mbak kasirnya menunjukkan angka yang harus kami bayar, nyariiiiis 400 ribu rupiah. Hiyaaaaa!!! Kagetlah saya. :-D Maklum, seumur-umur belum pernah ke dokter kulit. Moga-moga aja itu yang pertama dan terakhir. Jadilah saya tak tahu berapa ongkos yang kami bayarkan jika ke dokter kulit. Saya bilang sama mbak kasir, “Tunggu sebentar ya Mbak. Saya bilang sama suami saya di luar.” Dan saya keluar nyari suami yang lagi nggendong Aufa. Saat saya kasih tahu nominalnya, suami juga kaget.
Suami saya tergopoh-gopoh menuju ke kasir dan nego untuk menebus obat setengahnya aja. Hihihi … gimana lagi, di dompet cuma bawa 250 ribu. Mau ke ATM, lumayan jauh. Udah lah, tebus setengahnya aja. Tik tak tik tak … setelah menunggu lumayan lama, selesai sudah menunggu antrian diracikkan obat. Kami pun pulang. Dan sesampainya di rumah, saya lihat obat-obatnya. Olalaaaa … syedih hati saya. Salepnya seupriiiiit banget. Puyer antibiotiknya ada 10 bungkus, sama dengan yang dari dokter umum. Terus sebotol sirupnya itu adalah sirup multivitamin penambah nafsu makan. Padahal selama Aufa impetigo, makannya lancar-lancar aja. Saya juga udah bilang ke dokter kulitnya kalau nafsu makannya Aufa tetap baik, yang artinya dia nggak mengalami susah makan. Uhuks … syedihnya saya. Pesan moralnya : jangan panikan ya Mom and Dad. Seterkejut apa kita, tetep cool and calm. Biar kita bisa cermat meneliti obat apa saja yang akan kita tebus agar setelah kita bayar, kita tidak menyesal. :-(
Meskipun untuk kasus saya itu, ongkos periksa dan obat itu diklaimkan suami ke asuransi dari kantor suami. Awalnya sih pas mau periksa, suami bilang nggak usah pakai asuransi. Dibayar sendiri aja. Eh tapi waktu tahu ternyata kami mesti bayar segitu, suami bilang “Nanti pakai asuransi aja deh. Nanti asuransinya diurus.” Hmmhh ….
Melihat lepuhan-lepuhan yang masih muncul dan kemudian pecah, akhirnya dengan berat hati saya dan suami meminumkan juga antibiotik dari dokter kulit itu. Moga-moga sih alasan saya bukan karena udah terlanjur dibayar mahal, kemudian daripada sayang jika dibuang maka lebih baik saya minumkan saja. Moga-moga bukan itu. #berasa ragu dengan diri sendiri :-(
Salepnya juga saya oleskan. Kebetulan salep dari dokter umum juga sudah habis. Sirupnya juga saya minumkan sehari sekali, sesuai petunjuk dokternya. Huhuhu … padahal sebenernya nafsu makannya Aufa normal-normal aja. Dia nggak mogok makan. Hanya kata suami, “Coba nurut dokternya dulu, Mi.” Hmmh … ya sudahlah. Bismillaah aja. Niat ingsun kami berdua untuk kebaikan dan kesehatan Aufa.
Sehari setelah dari dokter kulit, seperti biasa kalau sore saya suapin Aufa makan di depan rumah. Sore itu Aufa ngajak jalan-jalan di perumahan. Jadilah saya ngintilin Aufa di belakangnya. Nah, saat jalan-jalan itu saya ketemu salah satu tetangga perumahan, dia seorang bapak dari 2 bocah. Dia tanya Aufa kenapa kok di hidung dan dahinya kayak luka. Saya jawab kena suleden. Kemudian dia cerita kalau dulu anak bontotnya juga kena suleden. Malah waktu itu masih bayi, katanya. Obatnya murah, katanya. Oleh bidan di tempat dia memeriksakan anaknya waktu itu disuruh memandikan anaknya dengan air rebusan kayu secang. Kayu secangnya bisa dibeli di pasar tradisional, di tempat penjual jamu.
Malamnya saat suami pulang kerja, saya cerita soal kayu secang itu. Eladalaaaah … suami baru tepok jidat. Suami cerita bahwa beberapa hari sebelumnya ada juga tetangga yang ngasih saran agar Aufa dimandikan dengan campuran air rebusan kayu secang. Kayu secangnya bisa dibeli di pasar. Keesokan harinya suami saya pergi ke pasar beli kayu secang 5 ribu rupiah dapet seplastik buesaaar. Pagi itu juga Aufa mulai kami mandikan dengan campuran air rebusan kayu secang.
Ya Allah … coba kalau suami nggak lupa, pasti nggak perlu diperiksakan ke dokter umum, apalagi sampai ke dokter kulit. Aufa nggak kemasukan obat kimia sintetis. Kalau salepnya sih nggak apa-apa karena hanya di kulit luar. Tapi kalau sirup dan antibiotiknya itu, ihiiikk … :-( Soalnya, setelah 3 kali saya mandikan pakai air rebusan kayu secang, udah kelihatan banget hasilnya. Lepuhannya langsung kering dan nggak muncul lepuhan baru.
Kayu secang itu wujudnya kayak kulit kayu yang diserut-serut, tapi serutannya masih lumayan besar. Kulit dalemnya berwarna oranye agak kemerahan. Setelah direbus, air rebusannya berwarna merah seperti rebusan teh rosela. Air rebusannya tidak berbau. Kata tetangga, ada juga penjual kayu secang yang usil dimana kayu secangnya itu dicampur dengan akar wangi. Sementara akar wanginya itu bukan obat buat penyakit kulit semacam suleden itu. Jadi mesti jeli benar saat beli kayu secang ini.
Ah, tapi sudahlah. Ini adalah pembelajaran bagi kami. Hikmah dari sini, kami harus betul-betul menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar tempat tinggal kami. Menjemur pakaian tidak di tempat yang berpotensi terkena banyak debu. Terus yang juga penting, kami jangan sampai panikan. Bagaimana pun kondisi anak, tetap tenang. Meskipun susah yaaa. Kalau anak sakit, mesti kita sebagai orangtuanya khawatir. Tapi tetep diusahakan tenang agar tidak srudak-sruduk.
Sehat-sehat ya Naaak. :-)

6 komentar:

  1. makasih mbak infonya.. anakku jg lagi kena impetigo.. manfat banget iinfonya.

    BalasHapus
  2. Ih serem ya.Itu yang di rasakan aufa gimana ba? Sering nangis gak?

    BalasHapus
  3. Y Allah ,Alhamdulillah...kok g dari awal saya buka internet,sampai nunggu 4 hari,terimakasih mbk atas infonya,mudah2an anak saya juga bisa cepet sembuh Terimakasih

    BalasHapus