Bismillaah…
Mau ngerekam saat Aufa kena impetigo saat bulan Ramadhan kemarin. Nggak apa-apa
deh ya telat. Hihi …. Awal Ramadhan kemarin Aufa terkena impetigo alias suleden,
dalam istilah Jawanya. Awalnya suami mengira itu adalah cacar air, tapi saya
tidak melihat ciri-ciri cacar air pada Aufa. Saya jadi teringat dengan anak
tetangga yang beberapa bulan lalu mengalami seperti yang dialami Aufa.
Jadi
begini … di tubuhnya Aufa muncul lepuhan-lepuhan. Jenis lepuhannya mirip
seperti jika kita terkena cipratan minyak goreng panas. Di dalam lepuhan itu
ada cairan bening. Jika lepuhan itu pecah, cairan itu pun merembes di atas
permukaan kulit di sekitar lepuhan. Dan cairan itu menular. Naaah, itu dia yang
menjadi big problem. Karena gerakan tangan dan jari-jemari Aufa sulit
dikontrol, Aufa susah sekali dijaga dari garuk-garuk. Apalagi saat Aufa kami
tinggal sendiri, dia main sendiri, misalnya. Kami yang tidak menunggui Aufa
main jadi tidak tahu apakah Aufa menggaruk-garuk ataukah tidak. Tapi karena
Aufa termasuk suka gerak-gerak, jadi sangat mungkin jika Aufa menggaruk-garuk
bekas lepuhannya itu.
Sebelum
dan selama muncul lepuhan-lepuhan itu badan Aufa tidak hangat ataupun panas.
Nafsu makan Aufa juga baik-baik saja, dia tidak mogok makan. Hanya saja pada
hari pertama muncul lepuhan, Aufa kayak pilek. Hidungnya sentrup-sentrup kayak
ada ingus beningnya. Tapi itu cuma sehari saja. Setelah satu hari
sentrup-sentrup, habis itu udah nggak ada lagi. Malamnya juga hidung Aufa juga
nggak mampet. Kalau pilek, malam hari hidungnya Aufa mampet dan jadi bikin dia
susah bernafas.
Lepuhan
itu awalnya munculnya hanya satu, di paha kanannya. Awalnya kecil, tapi
lama-lama membesar —meskipun tidak besar sekali. Keesokan harinya lepuhan itu pecah.
Dari situ, muncul lepuhan selanjutnya di dada kanannya. Itu mungkin terjadi
karena saat Aufa jongkok, paha kanannya menempel pada dada kanannya sehingga
muncullah lepuhan di dada kanan. Tak seperti lepuhan di paha kanan, lepuhan di
dada kanannya itu jumlahnya lumayan banyak, bergerombol. Dari situ, muncul di
pinggang, dengkul kiri, hidung, pipi, dahi, leher, punggung, selangkangan, dan
muncul di paha kanannya lagi.
Melihat
itu, kami berdua khawatir. Saya pun akhirnya tanya-tanya ke sebuah grup di FB.
Di sana, saya dapet pencerahan bahwa kemungkinan Aufa tidak terkena cacar air
(soalnya awalnya ayahnya Aufa keukeuh kalau Aufa kemungkinan besar terkena
cacar air). Setelah saya jelaskan seperti apa yang diderita Aufa plus ciri-cirinya,
salah seorang dokter di grup tersebut menyebut jika kemungkinan Aufa terkena
impetigo atau pemfigus. Kalau impetigo, cairannya jernih. Tapi kalau pemfigus,
cairannya keruh kehijauan. Karena cairan dari lepuhannya Aufa adalah jernih,
kemungkinan besar Aufa kena impetigo. Impetigo ini penyebabnya bakteri yang
persebarannya lewat udara atau air. Untuk lebih jelasnya apa itu impetigo, bisa
tanya ke mbah google yaaa. :-D
Setelah
dapet pencerahan itu, akhirnya pada suatu sore kami membawa Aufa periksa ke
dokter umum tak jauh dari rumah kami. Saat diperiksa, ibu dokternya bilang
bahwa apa yang diderita Aufa positif bukan cacar air. Menurut ibu dokternya,
itu adalah suleden. Penyebabnya bakteri. Penyebarannya bisa lewat udara atau
air. Oleh dokternya, kami diberi salep dan 10 bungkus puyer yang berisi antibiotik.
Salep itu dioleskan sehari tiga kali. Sedangkan puyernya diminumkan 2 kali
setiap harinya.
Sesampainya
di rumah, kami oleskan salep itu pada lepuhan dan bekas lepuhan. Tapi puyernya
kami tahan tidak kami berikan dulu. Kami berdua masih takut untuk meminumkan antibiotik
pada Aufa yang notabene masih 17 bulan.
Dua
hari setelah diolesi, lepuhannya masih tumbuh dan melepuh di tempat yang
berbeda-beda. Melihatnya, saya dan suami makin sedih. Setelah ada beberapa
masukan, saya dan suami akhirnya membawa Aufa ke dokter kulit. Oleh dokter
kulit, Aufa dinyatakan impetigo. Waktu saya tanya, impetigo itu suleden bukan
ya Dok? Dokternya bingung. Iya kayaknya, Mbak. Itu istilah jawanya kayaknya.
:-D Hihihi … sudahlah, istilahnya biarin aja. Yang penting udah ketahuan Aufa
kenapa. Oleh dokter kulit, Aufa dikasih puyer antibiotik, salep, dan sebotol
sirup.
Naaah
… di sini ini yang bikin saya dan suami syok. Saat di kasir, si mbak kasirnya
menunjukkan angka yang harus kami bayar, nyariiiiis 400 ribu rupiah.
Hiyaaaaa!!! Kagetlah saya. :-D Maklum, seumur-umur belum pernah ke dokter kulit.
Moga-moga aja itu yang pertama dan terakhir. Jadilah saya tak tahu berapa
ongkos yang kami bayarkan jika ke dokter kulit. Saya bilang sama mbak kasir, “Tunggu
sebentar ya Mbak. Saya bilang sama suami saya di luar.” Dan saya keluar nyari
suami yang lagi nggendong Aufa. Saat saya kasih tahu nominalnya, suami juga
kaget.
Suami
saya tergopoh-gopoh menuju ke kasir dan nego untuk menebus obat setengahnya
aja. Hihihi … gimana lagi, di dompet cuma bawa 250 ribu. Mau ke ATM, lumayan
jauh. Udah lah, tebus setengahnya aja. Tik tak tik tak … setelah menunggu
lumayan lama, selesai sudah menunggu antrian diracikkan obat. Kami pun pulang.
Dan sesampainya di rumah, saya lihat obat-obatnya. Olalaaaa … syedih hati saya.
Salepnya seupriiiiit banget. Puyer antibiotiknya ada 10 bungkus, sama dengan
yang dari dokter umum. Terus sebotol sirupnya itu adalah sirup multivitamin penambah
nafsu makan. Padahal selama Aufa impetigo, makannya lancar-lancar aja. Saya
juga udah bilang ke dokter kulitnya kalau nafsu makannya Aufa tetap baik, yang
artinya dia nggak mengalami susah makan. Uhuks … syedihnya saya. Pesan moralnya
: jangan panikan ya Mom and Dad. Seterkejut apa kita, tetep cool and calm. Biar
kita bisa cermat meneliti obat apa saja yang akan kita tebus agar setelah kita
bayar, kita tidak menyesal. :-(
Meskipun
untuk kasus saya itu, ongkos periksa dan obat itu diklaimkan suami ke asuransi
dari kantor suami. Awalnya sih pas mau periksa, suami bilang nggak usah pakai
asuransi. Dibayar sendiri aja. Eh tapi waktu tahu ternyata kami mesti bayar
segitu, suami bilang “Nanti pakai asuransi aja deh. Nanti asuransinya diurus.”
Hmmhh ….
Melihat
lepuhan-lepuhan yang masih muncul dan kemudian pecah, akhirnya dengan berat
hati saya dan suami meminumkan juga antibiotik dari dokter kulit itu. Moga-moga
sih alasan saya bukan karena udah terlanjur dibayar mahal, kemudian daripada
sayang jika dibuang maka lebih baik saya minumkan saja. Moga-moga bukan itu.
#berasa ragu dengan diri sendiri :-(
Salepnya
juga saya oleskan. Kebetulan salep dari dokter umum juga sudah habis. Sirupnya
juga saya minumkan sehari sekali, sesuai petunjuk dokternya. Huhuhu … padahal
sebenernya nafsu makannya Aufa normal-normal aja. Dia nggak mogok makan. Hanya
kata suami, “Coba nurut dokternya dulu, Mi.” Hmmh … ya sudahlah. Bismillaah
aja. Niat ingsun kami berdua untuk kebaikan dan kesehatan Aufa.
Sehari
setelah dari dokter kulit, seperti biasa kalau sore saya suapin Aufa makan di
depan rumah. Sore itu Aufa ngajak jalan-jalan di perumahan. Jadilah saya
ngintilin Aufa di belakangnya. Nah, saat jalan-jalan itu saya ketemu salah satu
tetangga perumahan, dia seorang bapak dari 2 bocah. Dia tanya Aufa kenapa kok
di hidung dan dahinya kayak luka. Saya jawab kena suleden. Kemudian dia cerita
kalau dulu anak bontotnya juga kena suleden. Malah waktu itu masih bayi,
katanya. Obatnya murah, katanya. Oleh bidan di tempat dia memeriksakan anaknya
waktu itu disuruh memandikan anaknya dengan air rebusan kayu secang. Kayu
secangnya bisa dibeli di pasar tradisional, di tempat penjual jamu.
Malamnya
saat suami pulang kerja, saya cerita soal kayu secang itu. Eladalaaaah … suami
baru tepok jidat. Suami cerita bahwa beberapa hari sebelumnya ada juga tetangga
yang ngasih saran agar Aufa dimandikan dengan campuran air rebusan kayu secang.
Kayu secangnya bisa dibeli di pasar. Keesokan harinya suami saya pergi ke pasar
beli kayu secang 5 ribu rupiah dapet seplastik buesaaar. Pagi itu juga Aufa
mulai kami mandikan dengan campuran air rebusan kayu secang.
Ya
Allah … coba kalau suami nggak lupa, pasti nggak perlu diperiksakan ke dokter
umum, apalagi sampai ke dokter kulit. Aufa nggak kemasukan obat kimia sintetis.
Kalau salepnya sih nggak apa-apa karena hanya di kulit luar. Tapi kalau sirup
dan antibiotiknya itu, ihiiikk … :-( Soalnya, setelah 3 kali saya mandikan
pakai air rebusan kayu secang, udah kelihatan banget hasilnya. Lepuhannya
langsung kering dan nggak muncul lepuhan baru.
Kayu
secang itu wujudnya kayak kulit kayu yang diserut-serut, tapi serutannya masih
lumayan besar. Kulit dalemnya berwarna oranye agak kemerahan. Setelah direbus, air
rebusannya berwarna merah seperti rebusan teh rosela. Air rebusannya tidak
berbau. Kata tetangga, ada juga penjual kayu secang yang usil dimana kayu
secangnya itu dicampur dengan akar wangi. Sementara akar wanginya itu bukan
obat buat penyakit kulit semacam suleden itu. Jadi mesti jeli benar saat beli
kayu secang ini.
Ah,
tapi sudahlah. Ini adalah pembelajaran bagi kami. Hikmah dari sini, kami harus
betul-betul menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar tempat tinggal
kami. Menjemur pakaian tidak di tempat yang berpotensi terkena banyak debu.
Terus yang juga penting, kami jangan sampai panikan. Bagaimana pun kondisi
anak, tetap tenang. Meskipun susah yaaa. Kalau anak sakit, mesti kita sebagai
orangtuanya khawatir. Tapi tetep diusahakan tenang agar tidak srudak-sruduk.
Sehat-sehat
ya Naaak. :-)
makasih mbak infonya.. anakku jg lagi kena impetigo.. manfat banget iinfonya.
BalasHapusIh serem ya.Itu yang di rasakan aufa gimana ba? Sering nangis gak?
BalasHapusKayu secang tu bhs jawanya ap y mbak?
BalasHapusY Allah ,Alhamdulillah...kok g dari awal saya buka internet,sampai nunggu 4 hari,terimakasih mbk atas infonya,mudah2an anak saya juga bisa cepet sembuh Terimakasih
BalasHapusiya dapat ilmu baru ini
BalasHapusJakarta || Banten ||Lombok
sangat bermanfaat sekali infonya
BalasHapusmenjaga kesehatan dimusim hujan