Kamis, 14 Juni 2012

Mi, Aku Pengin Bobok


Anak Ummi sayang … siang ini Ummi sedih saat mengingatmu, Nak. Ummi merasa bersalah padamu. Sangat bersalah. Maafkan Ummi, Nak. Maafkan. Hanya karena Ummi tak sabar menghadapimu, Ummi jadi jengkel.
Saat jam istirahat siang tadi, seperti biasanya saya pulang. Jam istirahat siang yang hanya 1 jam, saya manfaatkan betul-betul untuk perjalanan pulang pergi, memerah ASI, menyusui (dan kadang sambil menidurkan), Shalat Dhuhur, dan juga makan siang. Hanya satu jam saja. Tapi hari ini, entah kenapa pikiran saya terasa sebegini penuh. Entah, apakah karena saya sedang mendapat siklus dengan perut yang terasa sedikit mulas-mulas atau karena apa. Ah, tapi saya tak boleh mengkambinghitamkan siklus atau apapun. 
Sesampainya di rumah, saya langsung menyusui Aufa yang saat saya datang, dia sedang menangis. Saya susui dia sambil tiduran di tempat tidur. Setelah puas menyusu, ternyata dia tidak mau tidur. Tadinya saya kira dia ingin tidur. Dia malah tertawa-tawa sendiri sambil menatap luar jendela kamar.  Karena dia bermain-main sendiri, saya kemudian mengambil pompa ASI dan memompa di dekat Aufa. Sementara suami saya keluar rumah sebentar untuk membeli sesuatu.
Saat suami keluar, Aufa mulai rewel. Sedangkan saya sedang memompa ASI yang sedang deras-derasnya. Kalau saya lepas pompanya, ASI saya mancur-mancur. Jadilah saya biarkan dulu dia merengek-rengek. Tapi ternyata makin lama, rengekannya makin keras. Rengekannya pun kemudian berubah menjadi raungan tangis. Saya yang sedang memerah, jadi terpecah konsentrasi. ASI saya menetes-netes di pangkuan saya dan juga di lantai karena tangan saya tak kukuh memegang pompa saat harus menenangkan Aufa.
Saat itu, jam sudah menunjukkan jam 12.30. Itu tandanya, saya tinggal punya waktu 30 menit lagi. Sedangkan saya masih harus memompa ASI, belum makan, belum mengelap botol ASI, harus berpakaian kerja dan memakai jilbab lagi, dan menempuh perjalanan kembali lagi ke kantor. Sambil saya ajak ngobrol agar Aufa menjadi sedikit tenang, saya lanjutkan lagi memompa ASI. Tapi, raungan Aufa tetap keras dan malah tambah keras. Dia yang tadinya tiduran telentang, membalikkan tubuhnya sehingga tengkurap. Saat tengkurap, raungannya kian bertambah keras. Saya yang kemrungsung harus mengerjakan ini itu dengan waktu sesempit itu, semakin bertambah kemrungsung.
Saya jadi jengkel. Gemes padanya. Dengan gerakan cepat, saya ambil dia. Saya bopong tubuhnya, kemudian saya pangku dan saya susui. Duuh … dia pasti bisa merasakan kalau saya sedang jengkel dengannya. Dari gerakan saya saja yang cepat, pasti dia bisa merasakan saya tidak sedang baik-baik saja terhadapnya. Sambil saya susui, saya ajak dia ngobrol, “Kakak kenapa sekarang suka rewel? Kenapa, Kak? Ummi jadi sedih kalau Kakak rewel begini terus”. Saya bilang begitu sambil menyusui dia. Sementara Aufa terlihat menikmati. Sambil menyusui Aufa, saya lanjutkan memompa ASI. Dan tak lama kemudian, ternyata Aufa jatuh tertidur di pelukan saya.
Oooh … sayang. Maafkan Ummi ya Nak. Ummi tak sabar. Padahal kau hanya butuh sedikit sentuhan Ummi, hanya butuh waktu Ummi sebentar saja, tak sampai 5 menit untuk sampai terlelap. Tapi ternyata Ummi tak sanggup untuk bersabar. “Hanya sebentar saja, Ummi. Aku mengantuk. Pengin nenen sebentar aja,” mungkin itu yang ingin kau katakan jika kau sudah bisa bicara. Tapi, Ummimu ini tak mengerti maumu. Ummi lebih mengedepankan ego Ummi daripada mencoba mengerti apa maumu. Maafkan Ummi, sayang.
Saat dia mulai terlelap, duuuh … hati ini miris. Saya tatap wajah mungilnya di pelukan saya, pulasnya. Saya elus kepalanya, lengannya, kakinya, badannya, pipinya. Saya sedih, perih, menyesal. Dia hanya minta sedikit waktu saya untuk mengantarkannya ke alam mimpi. Tak sampai 5 menit. Tapi saya menanggapinya dengan tidak bersikap lembut padanya. Andaikan sejak awal dia merengek, saya menanggapinya dan menyusuinya, tentu Aufa tak sampai harus meraung-raung yang akhirnya membikin saya jengkel. Saya pun tak sampai membuat ASI saya menetes ke mana-mana. Karena bagi saya, setetes ASI sangatlah berharga. Sangat sayang jika harus menetes-netes ke mana-mana.
Andaikan saya bisa lebih tenang, tentu semuanya bisa dilakukan dengan baik. Tak perlu ada jengkel-jengkelan, tak perlu ada yang netes-netes. Tak perlu semua itu.
Aaaah … Ummi masih saja terus sedih mengingatmu, Nak. Kakak sayang, terus ajari Ummi untuk bijak, ya! Ajari Ummi untuk bisa bersabar menghadapimu. Ummi sangat sangat sayang padamu. Sangaaaaaat sayang. Peluk cium Ummi untukmu … :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar