Anak
Ummi sayang … siang ini Ummi sedih saat mengingatmu, Nak. Ummi merasa bersalah
padamu. Sangat bersalah. Maafkan Ummi, Nak. Maafkan. Hanya karena Ummi tak
sabar menghadapimu, Ummi jadi jengkel.
Saat
jam istirahat siang tadi, seperti biasanya saya pulang. Jam istirahat siang
yang hanya 1 jam, saya manfaatkan betul-betul untuk perjalanan pulang pergi,
memerah ASI, menyusui (dan kadang sambil menidurkan), Shalat Dhuhur, dan juga makan
siang. Hanya satu jam saja. Tapi hari ini, entah kenapa pikiran saya terasa
sebegini penuh. Entah, apakah karena saya sedang mendapat siklus dengan perut
yang terasa sedikit mulas-mulas atau karena apa. Ah, tapi saya tak boleh mengkambinghitamkan
siklus atau apapun.
Sesampainya
di rumah, saya langsung menyusui Aufa yang saat saya datang, dia sedang
menangis. Saya susui dia sambil tiduran di tempat tidur. Setelah puas menyusu, ternyata
dia tidak mau tidur. Tadinya saya kira dia ingin tidur. Dia malah tertawa-tawa
sendiri sambil menatap luar jendela kamar.
Karena dia bermain-main sendiri, saya kemudian mengambil pompa ASI dan
memompa di dekat Aufa. Sementara suami saya keluar rumah sebentar untuk membeli
sesuatu.
Saat
suami keluar, Aufa mulai rewel. Sedangkan saya sedang memompa ASI yang sedang
deras-derasnya. Kalau saya lepas pompanya, ASI saya mancur-mancur. Jadilah saya
biarkan dulu dia merengek-rengek. Tapi ternyata makin lama, rengekannya makin
keras. Rengekannya pun kemudian berubah menjadi raungan tangis. Saya yang
sedang memerah, jadi terpecah konsentrasi. ASI saya menetes-netes di pangkuan
saya dan juga di lantai karena tangan saya tak kukuh memegang pompa saat harus
menenangkan Aufa.
Saat
itu, jam sudah menunjukkan jam 12.30. Itu tandanya, saya tinggal punya waktu 30
menit lagi. Sedangkan saya masih harus memompa ASI, belum makan, belum mengelap
botol ASI, harus berpakaian kerja dan memakai jilbab lagi, dan menempuh
perjalanan kembali lagi ke kantor. Sambil saya ajak ngobrol agar Aufa menjadi
sedikit tenang, saya lanjutkan lagi memompa ASI. Tapi, raungan Aufa tetap keras
dan malah tambah keras. Dia yang tadinya tiduran telentang, membalikkan
tubuhnya sehingga tengkurap. Saat tengkurap, raungannya kian bertambah keras.
Saya yang kemrungsung harus mengerjakan ini itu dengan waktu sesempit itu,
semakin bertambah kemrungsung.
Saya
jadi jengkel. Gemes padanya. Dengan gerakan cepat, saya ambil dia. Saya bopong
tubuhnya, kemudian saya pangku dan saya susui. Duuh … dia pasti bisa merasakan
kalau saya sedang jengkel dengannya. Dari gerakan saya saja yang cepat, pasti
dia bisa merasakan saya tidak sedang baik-baik saja terhadapnya. Sambil saya
susui, saya ajak dia ngobrol, “Kakak kenapa sekarang suka rewel? Kenapa, Kak?
Ummi jadi sedih kalau Kakak rewel begini terus”. Saya bilang begitu sambil
menyusui dia. Sementara Aufa terlihat menikmati. Sambil menyusui Aufa, saya
lanjutkan memompa ASI. Dan tak lama kemudian, ternyata Aufa jatuh tertidur di
pelukan saya.
Oooh
… sayang. Maafkan Ummi ya Nak. Ummi tak sabar. Padahal kau hanya butuh sedikit
sentuhan Ummi, hanya butuh waktu Ummi sebentar saja, tak sampai 5 menit untuk
sampai terlelap. Tapi ternyata Ummi tak sanggup untuk bersabar. “Hanya sebentar
saja, Ummi. Aku mengantuk. Pengin nenen sebentar aja,” mungkin itu yang ingin
kau katakan jika kau sudah bisa bicara. Tapi, Ummimu ini tak mengerti maumu.
Ummi lebih mengedepankan ego Ummi daripada mencoba mengerti apa maumu. Maafkan
Ummi, sayang.
Saat
dia mulai terlelap, duuuh … hati ini miris. Saya tatap wajah mungilnya di
pelukan saya, pulasnya. Saya elus kepalanya, lengannya, kakinya, badannya,
pipinya. Saya sedih, perih, menyesal. Dia hanya minta sedikit waktu saya untuk
mengantarkannya ke alam mimpi. Tak sampai 5 menit. Tapi saya menanggapinya dengan
tidak bersikap lembut padanya. Andaikan sejak awal dia merengek, saya menanggapinya
dan menyusuinya, tentu Aufa tak sampai harus meraung-raung yang akhirnya
membikin saya jengkel. Saya pun tak sampai membuat ASI saya menetes
ke mana-mana. Karena bagi saya, setetes ASI sangatlah berharga. Sangat sayang
jika harus menetes-netes ke mana-mana.
Andaikan
saya bisa lebih tenang, tentu semuanya bisa dilakukan dengan baik. Tak perlu
ada jengkel-jengkelan, tak perlu ada yang netes-netes. Tak perlu semua itu.
Aaaah … Ummi masih saja terus sedih mengingatmu, Nak. Kakak
sayang, terus ajari Ummi untuk bijak, ya! Ajari Ummi untuk bisa bersabar
menghadapimu. Ummi sangat sangat sayang padamu. Sangaaaaaat sayang. Peluk cium
Ummi untukmu … :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar