Ini adalah sebuah peristiwa lucu tapi juga sekaligus agak menjengkelkan dan menggemaskan. Tadi malam pas nelepon rumah, ibu menanyakan suatu hal yang akhinya membuat saya gemes. Ibu bilang, beberapa hari lalu ada seorang ibu-ibu tetangga desa yang memberi tahu kepada ibu saya bahwa dia melihat salah satu di antara saya dan adik saya di pabrik kulit di daerah Semaki Yogyakarta. Si ibu ini mengatakan bahwa salah satu di antara kami bekerja di pabrik itu sebagai buruh pabrik.
“Bu, putrane panjenengan niku nyambut damel wonten pabrik kulit wonten daerah Semaki lho. Kulo nate semerep keng putra. Ning kulo mboten ngertos niku putrane njenengan ingkang mbajeng nopo ingkang alit,” begitu kata si ibu dengan nada sangat yakin.
Dengan polos, ibu saya menjawab, “Nopo inggih to? Kok lare-lare mboten crios menawi nyambut damel wonten pabrik kulit nggih?”
Mendengar jawaban ibu saya, si ibu-ibu ini meyakinkan ibu saya. “Leres, Bu. Sakestu niku, Bu. Putrane njengengan niku nyambut damel wonten pabrik kulit,” begitu kata si ibu itu tetap dengan nada yakin.
Ibu merasa bingung dengan kata-kata si ibu-ibu ini. Karena setahu ibu saya, saya bekerja di Solo. Sementara adik saya bekerja di instansi pemerintah di Makassar, tapi sekarang sedang menempuh pendidikan S2 di UI.
”Lha anak kulo niku sing alit sakniki wonten Jakarta niku. Anak kulo sing ageng wonten Solo.”
“Lha inggih. Mesthine menawi mekaten, niku sak derange putrane njenengan nyambut damel sing sakniki. Putrane njenengan niku nyambut damel wonten pabrik kulit, Bu,” si ibu-ibu ini masih terus meyakinkan ibu saya.
“Woo … lha kok lare-lare mboten crios nggih? Kulo malah mboten ngertos. Mangke kulo tangletke lare-lare, nopo leres nyambut damel wonten pabrik kulit,” ibu saya masih tetap bingung dengan kata-kata si ibu-ibu itu.
Dan semalam, ternyata sebelum saya menelepon rumah, adik saya lebih dulu menelepon rumah. Ketika saya menelepon rumah dan berbicara dengan ibu saya, ibu pun menanyakan kepada saya apakah benar saya bekerja sebagai buruh pabrik kulit di daerah Semaki. Dari nada suaranya, ibu saya terdengar agak kecewa. Saya menebak, mungkin ibu saya merasa dibohongi oleh anak-anaknya. Bahwa ternyata anaknya bekerja sebagai buruh pabrik kulit, tapi saya mengaku bekerja di sebuah penerbitan buku di Solo dan adik saya mengaku bekerja sebagai PNS di sebuah kementerian. Karena saya merasa tidak pernah bekerja di pabrik kulit, saya bilang bahwa saya tidak pernah bekerja di daerah itu. Bahkan saya juga tidak tahu daerah Semaki itu ada di mana.
“Woo … ngono to? Mau Atak tak takoni sakjane le nyambut gawe ki neng ngendi? Opo bener neng pabrik kulit? Ning Atak kok yo ora ngerti Semaki ki neng ngendi. Jarene mbiyen dhek isih kuliah, Atak tau neng Akademi Kerajinan Kulit nggoleki kancane, tapi dudu neng pabrik kulit. Lha trus kowe, sak durunge nyambut gawe, ojo-ojo kowe ora omong karo aku nek kowe nyambut gawe neng pabrik kulit,” ibu masih kurang percaya.
“Bu … sak durunge kerja kan aku kuliah. Wong aku oleh kerjaan sak durunge aku lulus,” begitu jawab saya.
“Ooo … iyo ding,” kata ibu akhirnya.
Hhhh… saya jadi gemas dengan ibu saya. Secara ya … sejak saya belum lulus kuliah, saya sudah bekerja sebagai jurnalis di sebuah surat kabar lokal di Solo. Kemudian setelah tidak lagi bekerja sebagai jurnalis, saya bekerja di sebuah penerbitan buku yang juga di Solo. Ibu saya juga mengetahui dan melihat sendiri bahwa setelah saya menikah, saya tinggal menetap di Kartasura yang tak jauh dari Solo. Sementara adik saya, setelah lulus kuliah langsung mendampingi dosennya di UGM mengerjakan berbagai penelitian. Kemudian tujuh bulan setelah lulus, adik saya diterima sebagai abdi negara di sebuah kementerian dengan penempatan di wilayah Makassar Sulawesi Selatan. Dan sekarang, adik saya sedang menempuh pendidikan S2 di UI. Ibu pun mengetahui di mana adik saya bekerja dan saat ini sedang menyelesaikan S2-nya di UI.
Tapi … mendengar ibu-ibu tetangga desa yang aktivitas sehari-harinya di rumah sebagai ibu rumah tangga, ibu menjadi terpengaruh. Saya bilang, ibu tahu di mana saya dan adik saya bekerja. Tapi kenapa ibu tidak menjelaskan dan justru malah meyakini bahwa semua yang dikatakan ibu-ibu itu tentang saya dan adik saya adalah sebuah kebenaran. Padahal kami selalu cerita di mana kami bekerja.
Menggemaskan. Karena selama kami berdua bekerja, kami cerita aktivitas kami apa saja. Kami sedang ada di mana dan melakukan pekerjaan apa di kantor. Dan sekarang, saat tiba-tiba ada orang menanyakan tentang kami, ibu manut-manut saja. Hhhh … gemes, ketawa karena itu lucu, tapi juga jengkel karena ibu lebih percaya orang lain yang tidak mengenal kami, anaknya. Seharusnya, karena kami sudah memberi tahu kami bekerja di mana, ibu bisa menjelaskan di mana kami bekerja. Hhh … ibu … ibu …
Lucu tapi gemes ….
“Bu, putrane panjenengan niku nyambut damel wonten pabrik kulit wonten daerah Semaki lho. Kulo nate semerep keng putra. Ning kulo mboten ngertos niku putrane njenengan ingkang mbajeng nopo ingkang alit,” begitu kata si ibu dengan nada sangat yakin.
Dengan polos, ibu saya menjawab, “Nopo inggih to? Kok lare-lare mboten crios menawi nyambut damel wonten pabrik kulit nggih?”
Mendengar jawaban ibu saya, si ibu-ibu ini meyakinkan ibu saya. “Leres, Bu. Sakestu niku, Bu. Putrane njengengan niku nyambut damel wonten pabrik kulit,” begitu kata si ibu itu tetap dengan nada yakin.
Ibu merasa bingung dengan kata-kata si ibu-ibu ini. Karena setahu ibu saya, saya bekerja di Solo. Sementara adik saya bekerja di instansi pemerintah di Makassar, tapi sekarang sedang menempuh pendidikan S2 di UI.
”Lha anak kulo niku sing alit sakniki wonten Jakarta niku. Anak kulo sing ageng wonten Solo.”
“Lha inggih. Mesthine menawi mekaten, niku sak derange putrane njenengan nyambut damel sing sakniki. Putrane njenengan niku nyambut damel wonten pabrik kulit, Bu,” si ibu-ibu ini masih terus meyakinkan ibu saya.
“Woo … lha kok lare-lare mboten crios nggih? Kulo malah mboten ngertos. Mangke kulo tangletke lare-lare, nopo leres nyambut damel wonten pabrik kulit,” ibu saya masih tetap bingung dengan kata-kata si ibu-ibu itu.
Dan semalam, ternyata sebelum saya menelepon rumah, adik saya lebih dulu menelepon rumah. Ketika saya menelepon rumah dan berbicara dengan ibu saya, ibu pun menanyakan kepada saya apakah benar saya bekerja sebagai buruh pabrik kulit di daerah Semaki. Dari nada suaranya, ibu saya terdengar agak kecewa. Saya menebak, mungkin ibu saya merasa dibohongi oleh anak-anaknya. Bahwa ternyata anaknya bekerja sebagai buruh pabrik kulit, tapi saya mengaku bekerja di sebuah penerbitan buku di Solo dan adik saya mengaku bekerja sebagai PNS di sebuah kementerian. Karena saya merasa tidak pernah bekerja di pabrik kulit, saya bilang bahwa saya tidak pernah bekerja di daerah itu. Bahkan saya juga tidak tahu daerah Semaki itu ada di mana.
“Woo … ngono to? Mau Atak tak takoni sakjane le nyambut gawe ki neng ngendi? Opo bener neng pabrik kulit? Ning Atak kok yo ora ngerti Semaki ki neng ngendi. Jarene mbiyen dhek isih kuliah, Atak tau neng Akademi Kerajinan Kulit nggoleki kancane, tapi dudu neng pabrik kulit. Lha trus kowe, sak durunge nyambut gawe, ojo-ojo kowe ora omong karo aku nek kowe nyambut gawe neng pabrik kulit,” ibu masih kurang percaya.
“Bu … sak durunge kerja kan aku kuliah. Wong aku oleh kerjaan sak durunge aku lulus,” begitu jawab saya.
“Ooo … iyo ding,” kata ibu akhirnya.
Hhhh… saya jadi gemas dengan ibu saya. Secara ya … sejak saya belum lulus kuliah, saya sudah bekerja sebagai jurnalis di sebuah surat kabar lokal di Solo. Kemudian setelah tidak lagi bekerja sebagai jurnalis, saya bekerja di sebuah penerbitan buku yang juga di Solo. Ibu saya juga mengetahui dan melihat sendiri bahwa setelah saya menikah, saya tinggal menetap di Kartasura yang tak jauh dari Solo. Sementara adik saya, setelah lulus kuliah langsung mendampingi dosennya di UGM mengerjakan berbagai penelitian. Kemudian tujuh bulan setelah lulus, adik saya diterima sebagai abdi negara di sebuah kementerian dengan penempatan di wilayah Makassar Sulawesi Selatan. Dan sekarang, adik saya sedang menempuh pendidikan S2 di UI. Ibu pun mengetahui di mana adik saya bekerja dan saat ini sedang menyelesaikan S2-nya di UI.
Tapi … mendengar ibu-ibu tetangga desa yang aktivitas sehari-harinya di rumah sebagai ibu rumah tangga, ibu menjadi terpengaruh. Saya bilang, ibu tahu di mana saya dan adik saya bekerja. Tapi kenapa ibu tidak menjelaskan dan justru malah meyakini bahwa semua yang dikatakan ibu-ibu itu tentang saya dan adik saya adalah sebuah kebenaran. Padahal kami selalu cerita di mana kami bekerja.
Menggemaskan. Karena selama kami berdua bekerja, kami cerita aktivitas kami apa saja. Kami sedang ada di mana dan melakukan pekerjaan apa di kantor. Dan sekarang, saat tiba-tiba ada orang menanyakan tentang kami, ibu manut-manut saja. Hhhh … gemes, ketawa karena itu lucu, tapi juga jengkel karena ibu lebih percaya orang lain yang tidak mengenal kami, anaknya. Seharusnya, karena kami sudah memberi tahu kami bekerja di mana, ibu bisa menjelaskan di mana kami bekerja. Hhh … ibu … ibu …
Lucu tapi gemes ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar