Senin, 08 Juli 2013

Nyumbang, Tradisi Saling Memberi


Nyumbang, demikian istilah yang dikenal. Maksudnya adalah memberi sesuatu (bisa berupa uang ataupun barang) kepada orang yang sedang mempunyai hajat. Misalnya hajat mantu, melahirkan bayi, sunatan, peringatan kematian (bisa 7 hari, 40 hari, 100 hari, atau 1.000 hari alias nyewu —istilah Jawa). Tradisi sumbang-menyumbang ini sudah berjalan turun-temurun. Sejak saya kecil imut-imut dulu (doeeengg!! ^_^) sampai amit-amit (kalau ini bener ^_*) begini, tradisi ini masih dan terus berlangsung. Hmm … ini sepertinya terjadi di banyak daerah ya? Hihihi ….
Kini, saya yang sudah berkeluarga pun ikut menjadi salah satu penerus tradisi ini. Di daerah asal saya di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta sana, hampir tiap bulan pasti ada orang yang punya hajat. Hajatnya macam-macam, bukan hanya hajat pernikahan saja. Dan itu artinya, setiap bulan ibu bapak saya pasti ada agenda nyumbang. Bahkan kadang kalau sedang bulan-bulan tertentu dimana banyak orang punya hajat mantu (menikahkan anak), tonjokan (undangan) buat nyumbang datang dari beberapa tempat. Bisa dipastikan, pada bulan-bulan tersebut, pengeluaran rumah tangga akan membengkak drastis.
Misalnya saja untuk nyumbang di tempat orang yang dikenal biasa, nyumbangnya sekitar 40 ribu hingga 50 ribu. Kalau dalam bentuk barang, bisa berupa gula, teh, beras. Jika dinilai, nominalnya sekitar 40 ribu hingga 50 ribu, bahkan kadang lebih besar nilainya. Kalau nyumbangnya di tempat orang yang masih terhubung dalam ikatan persaudaraan, biasanya lebih besar nilainya. Tapi berapa besar nominalnya, itu semampu yang nyumbang. Kadang ada yang nyumbang 100 ribu, 150 ribu, 200 ribu, 300 ribu, atau lebih besar lagi (tergantung kemampuan ekonominya).
Kalau dulu saat saya masih kecil, orang nyumbang berupa barang begitu masih banyak dijumpai. Ibu saya termasuk yang kadang seperti itu. Biasanya, ibu-ibu yang nyumbang (karena dalam hal nyumbang ini, yang maju adalah kaum ibu) membawa tenggok (semacam keranjang yang terbuat dari anyaman bambu) yang digendong di belakang punggung menggunakan kain jarik. Di dalam tenggok itu berisi gula pasir, gula jawa, gula batu, teh, beras, juga beberapa butir kelapa (yang sudah dikupas sabutnya). Khusus gula, kadang hanya salah satu jenis saja, misalnya gula pasir saja. Kadang dalam tenggok itu juga berisi kopi dan juga beberapa bungkus rokok. Pada dasarnya, itu suka-suka yang nyumbang mau mengisi tenggoknya dengan barang apa saja. Nanti di tempat orang yang punya hajat, barang dalam tenggok itu dicatat. Biasanya yang bertugas mencatat adalah bendahara. Kalau di sana, tiap orang punya hajat itu membentuk sebuah kepanitiaan. Ada ketua, ada sekretaris, ada bendahara, dan lain-lain. Orang-orang yang terlibat dalam kepanitiaan itu berasal dari para pemuda-pemudi di dusun tempat si punya hajat itu tinggal. Nah, pencatatan barang sumbangan atau uang sumbangan itu dilakukan oleh bendahara.
Nanti saat orang yang nyumbang itu pulang, di dalam tenggoknya ada ulih-ulih. Ulih-ulihnya berupa nasi dan lauk-pauk ala desa yang tiap jenis lauknya diwadahi sudhi —terbuat dari daun pisang yang ditekuk sedemikian rupa dan dikaitkan dengan biting (lidi) sehingga menjadi sebuah wadah untuk lauk. Jenis lauknya antara lain: mi kuning goreng, soun goreng, gudeg, capjay goreng, telur rebus sebutir, sambal tempe rambak, bothok. Dan kalau yang punya hajat berani keluar duit banyak, lauknya ada lagi, yaitu ayam goreng (biasanya bagian dada atau paha ayam). Sementara buahnya biasanya berupa pisang yang jumlahnya sebiji saja. Namun, ulih-ulih itu kadang tidak langsung diberikan pada saat si penyumbang itu pulang dari nyumbang. Kadang keesokan harinya, ulih-ulih baru diantarkan oleh orang suruhan dari si pemilik hajat. Seiring berjalannya waktu, ulih-ulih itu sudah beda lagi. Sekarang, ulih-ulih kadang berupa nasi dan ayam goreng lengkap dengan lalapan dan sambal. Tapi yang paling sering berupa roti lapis legit ukuran standar 20 x 20 cm, atau kadang bakpia, kadang roti bolu.
Soal sudhi, seiring berkembangnya zaman, sudhi itu kini sudah banyak yang terbuat dari kertas yang di atasnya dilapisi plastik bening. Sehingga orang yang punya hajat tidak perlu repot-repot membuat sudhi yang jumlahnya bisa ratusan buah, bahkan lebih dari seribu buah. Sebab, pembuatan sudhi dari daun pisang itu juga melibatkan para tetangga untuk membantu secara sukarela. Meskipun sukarela, yang punya hajat secara tidak tertulis punya tanggungan untuk memberi makan, minum, juga snack kepada para pembuat sudhi itu. Hehehe … keluar biaya lagi kan? Yang punya hajat jadi harus mengeluarkan duit banyak. ^_^
Itu tadi kalau zaman dulu. Kalau zaman sekarang, orang nyumbang berupa barang yang dibawa menggunakan tenggok, sudah jarang ditemukan. Mungkin terkesan tidak praktis. Soalnya orang yang mau nyumbang harus belanja (entah ke toko, warung, atau ke pasar). Setelah itu, si penyumbang masih harus menggendong tenggok yang pastinya jadi berat karena berisi aneka barang. Karena menggendong barang, dulu biasanya para ibu ini berjalan kaki saja untuk datang ke rumah orang yang punya hajat. Kalau pakai sepeda kan ribet. Zaman dulu, orang masih jarang yang punya sepeda motor. Jadinya ya jalan kaki. Serunya, ibu-ibu ini berangkat bareng-bareng, 2 orang atau lebih. Jadinya nggak berasa capek.
Jadilah zaman sekarang yang serba praktis ini, orang lebih memilih nyumbang uang saja. Tinggal beli amplop, kemudian uangnya dimasukkan amplop. Orang yang mau nyumbang nggak perlu repot-repot belanja, atau ke kebun memetik hasil kebun, plus ditambah menggendong barang yang jelas berat sekaleeee.
Eh tapiiiii … saya menemukan hal lain di daerah asal suami saya di Wonogiri sana. Saat saya dan suami menikah tahun 2010 lalu, orang-orang yang nyumbang menggunakan tenggok ke rumah mertua saya masih banyak lho. Beda dengan daerah asal saja di Kulonprogo yang tinggal hitungan jari. Bahkan di Wonogiri, ada pula yang pakai karung plastik besar. Wuiiih, mana barang sumbangannya seabrek-abrek jumlahnya. Saya kurang tahu persisnya apa saja. Tapi yang jelas, barangnya lebih banyak daripada tradisi di Kulonprogo. Sepertinya sih hampir sama dengan di Kulonprogo: ada gula, teh, rokok, kopi, kelapa, beras.
Bagi kebanyakan orang, nyumbang yang paling familiar adalah nyumbang mantu. Kalau di daerah asal saya, sebuah keluarga kadang membuka sumbangan untuk setiap ewuh (hajat) yang dia gelar. Misalnya saat sedang peringatan kematian 7 hari, menerima sumbangan. Atau peringatan kematian 100 hari, buka sumbangan. Nanti peringatan seribu hari orangtua yang sudah meninggal, buka sumbangan lagi. Jeda setahun atau beberapa tahun kemudian, anaknya hamil tujuh bulan, dia ewuh tingkepan (upacara tujuh bulanan kehamilan). Nanti si cucu lahir, dia ewuh lagi, namanya puputan (putus atau keringnya tali pusat bayi). Nanti saat cucu umur 8 tahun atau 9 tahun sunat (khitan), ewuh lagi. Nanti saat cucu menikah, ewuh mantu. Banyak kan jadinya satu keluarga saja dalam kurun waktu 20 tahun, misalnya, menerima berapa kali sumbangan? Lucunya —dan ada beberapa yang betul-betul terjadi— saat ada tetangga atau kenalan yang ewuh, orang ini cuek-cuek saja. Padahal saat dia ewuh, dia disumbang berkali-kali. Hihihi … egois ya kesannya? Tapi ya begitulah, ada beberapa kejadian seperti itu.
Sejak saya kecil, entah sudah berapa banyak ibu saya nyumbang sana-sini. Bukan bermaksud sombong yaaa. Tapi ini sekali lagi soal tradisi. Dan tentu bukan ibu saya saja yang nyumbang. Orang-orang lain pun juga seperti ibu saya, entah sudah berapa banyak nyumbang. Setiap ada tonjokan atau undangan sumbangan, mestinya yang ditonjok datang nyumbang. Begitu kan? Yaah, maksudnya begitulah. Hehehe ….
Entah sudah berapa banyak ibu saya nyumbang. Dalam setiap bulan pasti ada saja undangan sumbangan yang datang. Dan itu tentu kita sebagai yang diundang, akan pekewuh alias nggak enak hati jika tidak memenuhi undangan. Yah, meskipun demi bisa menyumbang itu, tak jarang ibu harus menjual ayam, jual hasil kebun, atau apa saja agar bisa ditukar dengan uang. Sebab, kadang sumbangan datang silih berganti, membuat anggaran membengkak sehingga bikin dompet betul-betul tak bersisa. Dan itu jamak sekali terjadi pada orang-orang desa di daerah asal saya. Mereka rela menjual barang atau harta milik mereka demi untuk nyumbang. Mau buat makan sendiri aja sulit dan dihemat-hemat, tapi begitu ada undangan sumbangan, mau tak mau juga harus mencari uang. Pernah beberapa kali ada undangan sumbangan mantu datang ke rumah. Ibu mengira, itu dari kawan bapak. Tapi ternyata bapak nggak tahu si pemilik hajat. Tahunya bapak, itu temannya ibu. Saat sampai di alamat yang punya hajat dan sedang bertemu si pemilik hajat, mereka juga nggak kenal bapak ibu. Jadinya saling nggak kenal gitu. Tapi anehnya, undangannya kok sampai meja rumah ibu saya ya? Hihihi …. Dan kejadian itu nggak cuma sekali itu saja.
Di sisi lain, orang nyumbang itu juga punya alasan masing-masing. Ada yang nyumbang biar kalau nanti dia punya hajat, ganti disumbangi oleh yang telah disumbang. Istilahnya, menabur benih, begitu. Nanti kalau sudah saatnya (maksudnya saat ganti punya hajat), akan menuai hasilnya. Nanti kalau gantian punya hajat, apa-apa yang telah disumbangkan akan balik lagi. Harapannya begitu.
Tapi, ada pula orang-orang yang saat nyumbang ya nyumbang saja. Perkara nanti saat dia punya hajat ada yang bakal nyumbang balik atau tidak, itu tidak masalah. Ada yang nyumbang balik ya syukur, tidak ada ya sudah. Ada lagi model lain dimana saat giliran dia punya hajat, dia tidak menerima sumbangan. Jadi jika selama ini dia nyumbang ke mana-mana, tapi saat giliran dia punya hajat ya tidak ada orang datang menyumbang untuknya. Sebab, dia sudah mengumumkan (biasanya lewat mulut ke mulut) bahwa dia tidak menerima sumbangan. Maka ya begitu, jika pun ada tamu, ya datang saja tanpa membawa sumbangan. Model lainnya adalah yang di awal tadi dibahas, yaitu sering membuka undangan sumbangan. Namun giliran tetangga punya hajat, dia nggak nyumbang.
Macam-macam ya tipenya? Tapi ya begitulah. Itu semua tergantung tipikal masing-masing orang. Mau orang desa atau orang pinggiran atau orang kota, segala tipikal manusia ada semua.
Yah, begitulah tradisi nyumbang di Kulonprogo. Di daerah lain pasti juga ada tradisi begitu meski mungkin saja ada perbedaannya. :-))


1 komentar: