Nyumbang, demikian istilah yang dikenal.
Maksudnya adalah memberi sesuatu (bisa berupa uang ataupun barang) kepada orang
yang sedang mempunyai hajat. Misalnya hajat mantu, melahirkan bayi, sunatan,
peringatan kematian (bisa 7 hari, 40 hari, 100 hari, atau 1.000 hari alias nyewu —istilah Jawa). Tradisi
sumbang-menyumbang ini sudah berjalan turun-temurun. Sejak saya kecil imut-imut
dulu (doeeengg!! ^_^) sampai amit-amit (kalau ini bener ^_*) begini, tradisi
ini masih dan terus berlangsung. Hmm … ini sepertinya terjadi di banyak daerah
ya? Hihihi ….
Kini,
saya yang sudah berkeluarga pun ikut menjadi salah satu penerus tradisi ini. Di
daerah asal saya di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta sana, hampir tiap bulan
pasti ada orang yang punya hajat. Hajatnya macam-macam, bukan hanya hajat
pernikahan saja. Dan itu artinya, setiap bulan ibu bapak saya pasti ada agenda nyumbang. Bahkan kadang kalau sedang
bulan-bulan tertentu dimana banyak orang punya hajat mantu (menikahkan anak), tonjokan (undangan) buat nyumbang datang dari beberapa tempat.
Bisa dipastikan, pada bulan-bulan tersebut, pengeluaran rumah tangga akan
membengkak drastis.
Misalnya
saja untuk nyumbang di tempat orang
yang dikenal biasa, nyumbangnya
sekitar 40 ribu hingga 50 ribu. Kalau dalam bentuk barang, bisa berupa gula,
teh, beras. Jika dinilai, nominalnya sekitar 40 ribu hingga 50 ribu, bahkan
kadang lebih besar nilainya. Kalau nyumbangnya
di tempat orang yang masih terhubung dalam ikatan persaudaraan, biasanya lebih
besar nilainya. Tapi berapa besar nominalnya, itu semampu yang nyumbang. Kadang ada yang nyumbang 100 ribu, 150 ribu, 200 ribu,
300 ribu, atau lebih besar lagi (tergantung kemampuan ekonominya).
Kalau
dulu saat saya masih kecil, orang nyumbang
berupa barang begitu masih banyak dijumpai. Ibu saya termasuk yang kadang
seperti itu. Biasanya, ibu-ibu yang nyumbang
(karena dalam hal nyumbang ini, yang
maju adalah kaum ibu) membawa tenggok
(semacam keranjang yang terbuat dari anyaman bambu) yang digendong di belakang
punggung menggunakan kain jarik. Di dalam tenggok itu berisi gula pasir, gula
jawa, gula batu, teh, beras, juga beberapa butir kelapa (yang sudah dikupas
sabutnya). Khusus gula, kadang hanya salah satu jenis saja, misalnya gula pasir
saja. Kadang dalam tenggok itu juga
berisi kopi dan juga beberapa bungkus rokok. Pada dasarnya, itu suka-suka yang nyumbang mau mengisi tenggoknya dengan barang apa saja. Nanti
di tempat orang yang punya hajat, barang dalam tenggok itu dicatat. Biasanya yang bertugas mencatat adalah
bendahara. Kalau di sana, tiap orang punya hajat itu membentuk sebuah
kepanitiaan. Ada ketua, ada sekretaris, ada bendahara, dan lain-lain.
Orang-orang yang terlibat dalam kepanitiaan itu berasal dari para pemuda-pemudi
di dusun tempat si punya hajat itu tinggal. Nah, pencatatan barang sumbangan
atau uang sumbangan itu dilakukan oleh bendahara.
Nanti
saat orang yang nyumbang itu pulang,
di dalam tenggoknya ada ulih-ulih. Ulih-ulihnya berupa nasi dan lauk-pauk
ala desa yang tiap jenis lauknya diwadahi sudhi
—terbuat dari daun pisang yang ditekuk sedemikian rupa dan dikaitkan dengan
biting (lidi) sehingga menjadi sebuah
wadah untuk lauk. Jenis lauknya antara lain: mi kuning goreng, soun goreng,
gudeg, capjay goreng, telur rebus sebutir, sambal tempe rambak, bothok. Dan
kalau yang punya hajat berani keluar duit banyak, lauknya ada lagi, yaitu ayam
goreng (biasanya bagian dada atau paha ayam). Sementara buahnya biasanya berupa
pisang yang jumlahnya sebiji saja. Namun, ulih-ulih
itu kadang tidak langsung diberikan pada saat si penyumbang itu pulang dari nyumbang. Kadang keesokan harinya, ulih-ulih baru diantarkan oleh orang
suruhan dari si pemilik hajat. Seiring berjalannya waktu, ulih-ulih itu sudah beda lagi. Sekarang, ulih-ulih kadang berupa
nasi dan ayam goreng lengkap dengan lalapan dan sambal. Tapi yang paling sering
berupa roti lapis legit ukuran standar 20 x 20 cm, atau kadang bakpia, kadang
roti bolu.
Soal
sudhi, seiring berkembangnya zaman, sudhi itu kini sudah banyak yang terbuat
dari kertas yang di atasnya dilapisi plastik bening. Sehingga orang yang punya
hajat tidak perlu repot-repot membuat sudhi
yang jumlahnya bisa ratusan buah, bahkan lebih dari seribu buah. Sebab,
pembuatan sudhi dari daun pisang itu
juga melibatkan para tetangga untuk membantu secara sukarela. Meskipun
sukarela, yang punya hajat secara tidak tertulis punya tanggungan untuk memberi
makan, minum, juga snack kepada para pembuat sudhi itu. Hehehe … keluar biaya lagi kan? Yang punya hajat jadi
harus mengeluarkan duit banyak. ^_^
Itu
tadi kalau zaman dulu. Kalau zaman sekarang, orang nyumbang berupa barang yang dibawa menggunakan tenggok, sudah jarang ditemukan. Mungkin terkesan tidak praktis.
Soalnya orang yang mau nyumbang harus
belanja (entah ke toko, warung, atau ke pasar). Setelah itu, si penyumbang
masih harus menggendong tenggok yang
pastinya jadi berat karena berisi aneka barang. Karena menggendong barang, dulu
biasanya para ibu ini berjalan kaki saja untuk datang ke rumah orang yang punya
hajat. Kalau pakai sepeda kan ribet. Zaman dulu, orang masih jarang yang punya
sepeda motor. Jadinya ya jalan kaki. Serunya, ibu-ibu ini berangkat
bareng-bareng, 2 orang atau lebih. Jadinya nggak berasa capek.
Jadilah
zaman sekarang yang serba praktis ini, orang lebih memilih nyumbang uang saja. Tinggal beli amplop, kemudian uangnya
dimasukkan amplop. Orang yang mau nyumbang
nggak perlu repot-repot belanja, atau ke kebun memetik hasil kebun, plus
ditambah menggendong barang yang jelas berat sekaleeee.
Eh
tapiiiii … saya menemukan hal lain di daerah asal suami saya di Wonogiri sana.
Saat saya dan suami menikah tahun 2010 lalu, orang-orang yang nyumbang menggunakan tenggok ke rumah mertua saya masih
banyak lho. Beda dengan daerah asal saja di Kulonprogo yang tinggal hitungan
jari. Bahkan di Wonogiri, ada pula yang pakai karung plastik besar. Wuiiih,
mana barang sumbangannya seabrek-abrek jumlahnya. Saya kurang tahu persisnya
apa saja. Tapi yang jelas, barangnya lebih banyak daripada tradisi di
Kulonprogo. Sepertinya sih hampir sama dengan di Kulonprogo: ada gula, teh,
rokok, kopi, kelapa, beras.
Bagi
kebanyakan orang, nyumbang yang
paling familiar adalah nyumbang mantu.
Kalau di daerah asal saya, sebuah keluarga kadang membuka sumbangan untuk
setiap ewuh (hajat) yang dia gelar.
Misalnya saat sedang peringatan kematian 7 hari, menerima sumbangan. Atau
peringatan kematian 100 hari, buka sumbangan. Nanti peringatan seribu hari
orangtua yang sudah meninggal, buka sumbangan lagi. Jeda setahun atau beberapa
tahun kemudian, anaknya hamil tujuh bulan, dia ewuh tingkepan (upacara tujuh bulanan kehamilan). Nanti si cucu
lahir, dia ewuh lagi, namanya puputan (putus atau keringnya tali pusat
bayi). Nanti saat cucu umur 8 tahun atau 9 tahun sunat (khitan), ewuh lagi. Nanti saat cucu menikah, ewuh mantu. Banyak kan jadinya satu
keluarga saja dalam kurun waktu 20 tahun, misalnya, menerima berapa kali
sumbangan? Lucunya —dan ada beberapa yang betul-betul terjadi— saat ada
tetangga atau kenalan yang ewuh,
orang ini cuek-cuek saja. Padahal saat dia ewuh,
dia disumbang berkali-kali. Hihihi … egois ya kesannya? Tapi ya begitulah, ada
beberapa kejadian seperti itu.
Sejak
saya kecil, entah sudah berapa banyak ibu saya nyumbang sana-sini. Bukan bermaksud sombong yaaa. Tapi ini sekali
lagi soal tradisi. Dan tentu bukan ibu saya saja yang nyumbang. Orang-orang lain pun juga seperti ibu saya, entah sudah
berapa banyak nyumbang. Setiap ada tonjokan atau undangan sumbangan,
mestinya yang ditonjok datang nyumbang. Begitu kan? Yaah, maksudnya
begitulah. Hehehe ….
Entah
sudah berapa banyak ibu saya nyumbang.
Dalam setiap bulan pasti ada saja undangan sumbangan yang datang. Dan itu tentu
kita sebagai yang diundang, akan pekewuh
alias nggak enak hati jika tidak memenuhi undangan. Yah, meskipun demi bisa
menyumbang itu, tak jarang ibu harus menjual ayam, jual hasil kebun, atau apa
saja agar bisa ditukar dengan uang. Sebab, kadang sumbangan datang silih
berganti, membuat anggaran membengkak sehingga bikin dompet betul-betul tak
bersisa. Dan itu jamak sekali terjadi pada orang-orang desa di daerah asal
saya. Mereka rela menjual barang atau harta milik mereka demi untuk nyumbang. Mau buat makan sendiri aja
sulit dan dihemat-hemat, tapi begitu ada undangan sumbangan, mau tak mau juga
harus mencari uang. Pernah beberapa kali ada undangan sumbangan mantu datang ke
rumah. Ibu mengira, itu dari kawan bapak. Tapi ternyata bapak nggak tahu si
pemilik hajat. Tahunya bapak, itu temannya ibu. Saat sampai di alamat yang
punya hajat dan sedang bertemu si pemilik hajat, mereka juga nggak kenal bapak
ibu. Jadinya saling nggak kenal gitu. Tapi anehnya, undangannya kok sampai meja
rumah ibu saya ya? Hihihi …. Dan kejadian itu nggak cuma sekali itu saja.
Di
sisi lain, orang nyumbang itu juga
punya alasan masing-masing. Ada yang nyumbang
biar kalau nanti dia punya hajat, ganti disumbangi oleh yang telah
disumbang. Istilahnya, menabur benih, begitu. Nanti kalau sudah saatnya
(maksudnya saat ganti punya hajat), akan menuai hasilnya. Nanti kalau gantian
punya hajat, apa-apa yang telah disumbangkan akan balik lagi. Harapannya
begitu.
Tapi,
ada pula orang-orang yang saat nyumbang
ya nyumbang saja. Perkara nanti saat
dia punya hajat ada yang bakal nyumbang
balik atau tidak, itu tidak masalah. Ada yang nyumbang balik ya syukur, tidak ada ya sudah. Ada lagi model lain
dimana saat giliran dia punya hajat, dia tidak menerima sumbangan. Jadi jika
selama ini dia nyumbang ke mana-mana,
tapi saat giliran dia punya hajat ya tidak ada orang datang menyumbang
untuknya. Sebab, dia sudah mengumumkan (biasanya lewat mulut ke mulut) bahwa
dia tidak menerima sumbangan. Maka ya begitu, jika pun ada tamu, ya datang saja
tanpa membawa sumbangan. Model lainnya adalah yang di awal tadi dibahas, yaitu
sering membuka undangan sumbangan. Namun giliran tetangga punya hajat, dia
nggak nyumbang.
Macam-macam
ya tipenya? Tapi ya begitulah. Itu semua tergantung tipikal masing-masing
orang. Mau orang desa atau orang pinggiran atau orang kota, segala tipikal
manusia ada semua.
Yah,
begitulah tradisi nyumbang di
Kulonprogo. Di daerah lain pasti juga ada tradisi begitu meski mungkin saja ada
perbedaannya. :-))
bagus sekali untuk dibaca
BalasHapussakit perut sebelah kanan