Berbicara tentang ekonomi keluarga, kalau mau menyebut, mungkin status ekonomi rumah tangga kami bisa dibilang biasa-biasa aja. Bahkan bisa dibilang pas-pasan. Pas lagi butuh, pas ada uang. Pas lagi nggak butuh, ya pas lagi nggak ada uang. Atau bisa dibilang sebaliknya, pas lagi nggak ada uang ya pas lagi nggak butuh. Hehehe … ^_^ Tapiiiii itu nggak melulu seperti itu. Sebab, kadang-kadang kami juga mengalami kondisi dimana kami sedang butuh sesuatu atau butuh uang, tapi uangnya nggak ada atau nggak cukup. Hehehe … ngenes, ya?
Tapi, alhamdulillah, saya dan suami selalu lolos melalui semua kondisi itu dengan selamat. Nggak babak belur. Emangnya ditonjokin sama debt collector kok pakai babak belur segala? Enggaklaaah. :-) *nanya-nanya sendiri, eeehh dijawab sendiri!* Maksudnya, saat kami memang nggak ada uang lebih, ya ditahan-tahan dulu ‘kebutuhannya’ sampai ada rezeki datang mengalir buat kami. Dan alhamdulillah, Allah baik banget sama kami. ‘Kebutuhan’ kami itu mau aja ditahan-tahan sampai ada rezeki datang. Terima kasih, ya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. ^_^ *kalau kebutuhan bisa ditahan-tahan, itu namanya kebutuhan atau keinginan, ya?*
Tapi, kok ini tiba-tiba ngomongin soal ekonomi keluarga, sih? Nggak ada angin dan nggak ada hujan gitu loh. Hmm … begini, Sodara-Sodari. Memang nggak ada apa-apa kok kenapa sekarang saya tiba-tiba ngomongin ini. *dengan mimik muka menyembunyikan kebohongan* Saya cuma pengin nulis aja. *teteeeuup aja* :-D
Jika kita melihat ke sekeliling kita, ke teman-teman kita, ke saudara-saudara kita, atau kenalan kita, saat mereka memulai membentuk keluarga, mereka pasti melalui saat-saat berdiri di titik nol. Saat dimana mereka belum memiliki apa-apa. Atau mungkin sudah memiliki, tapi yang dimiliki itu masih kecil atau sedikit. Barulah seiring berjalannya waktu, seiring pula dengan semakin getolnya bekerja dan berusaha menjemput rezeki, juga seiring dengan Allah yang semakin banyak melimpahkan rezeki, kondisi ekonomi keluarga semakin baik. Tidak lagi berada di titik nol, tapi sudah naik ke titik lebih tinggi.
Itu pula yang terjadi dengan rumah tangga kami. Saya dan suami memulai membentuk rumah tangga dalam kondisi ekonomi yang boleh dibilang belum matang. Kami berdua sama-sama bekerja dengan penghasilan per bulan yang tidak begitu besar. Meksipun demikian, kami selalu mensyukuri itu. Dengan penghasilan yang tidak begitu besar itu, kami bisa mencukupi kebutuhan kami sendiri. Nggak nyadong atau bahasa Indonesianya nggak menadahkan tangan kepada orang tua untuk minta memenuhi kebutuhan kami.
Kalau sekarang ditanya, apa yang sekarang kami miliki? Saya akan menjawab dengan jujur bahwa saat ini kami tidak memiliki apa-apa selain sebuah rumah bertipe 30 yang sekarang kami tempati. Sebuah rumah yang kami cicil setiap bulan selama 10 tahun yang hingga saat ini baru sampai di tahun kedua cicilan. Kalau ditanya apakah kami punya mobil? Akan saya jawab bahwa kami saat ini tidak punya mobil. Hanya ada dua buah sepeda motor, yang satu adalah pemberian dari bapak saya dan yang satunya lagi diperoleh dari hasil kredit suami saya 5 tahun lalu. Alhamdulillah, meskipun kredit, itu adalah wujud hasil perasan keringat suami saya. Bau sepeda motornya harum lho, bau keringat suami saya soalnya. :-D Itu duit yang dulu dipakai buat nyicil sepeda motor adalah murni duitnya sendiri, nggak minta sama orang tuanya. Di rumah mungil kami pun juga tidak ada perabot mewah, semuanya hanya perabot-perabot biasa. Duit dari mana buat membeli perabot-perabot mewah?
Saat ini, kami tidaklah kaya. Ya, memang begitulah kondisi ekonomi kami saat ini. Kami tidak perlu mengklaim barang atau apapun yang bukan milik kami karena memang tidak ada yang bisa diklaim. Toh, kami berasal dari keluarga yang tidak kaya. Orang tua kami bukanlah orang yang memiliki materi berlimpah ruah. Apanya yang bisa kami klaim sebagai kekayaan atau harta benda kami? Mau mengklaim rumah orang tua kami sebagai rumah kami? Atau mengklaim mobil orang tua kami sebagai milik kami? *padahal orang tua kami tidak memiliki mobil* Atau mengklaim tanah orang tua kami sebagai milik kami? *padahal orang tua kami juga tidak memiliki tanah berhektar-hektar* Atau mengklaim tabungan orang tua kami di bank sebagai milik kami? *apalagi ini, orang tua kami tidak memiliki banyak tabungan di bank* Atau mengklaim kekayaan orang tua kami serta saudara-saudara kami sebagai milik kami?
Kami mengklaim apa yang memang milik kami sendiri aja. Tidak perlu mengklaim milik orang tua atau saudara-saudara sebagai milik kami. Karena ya memang itu tadi, nggak ada yang bisa kami klaim sebagai milik kami. Kami puas kok dengan apa yang kami miliki, meskipun nilainya kecil dan sedikit. Tapi, itu adalah milik kami sendiri yang kami dapat dari hasil perasan keringat kami sendiri. Kalau sepeda motor suami saya itu bau keringat suami saya, rumah yang kami tempati berbau keringat lebih kecut lagi. Soalnya, itu bau keringat kami berdua. *nah loooh … keringat 2 orang digabungin jadi satu, kebayang nggak tuh bau kecutnya?* Rumah itu kami cicil dengan uang yang kami peroleh dari hasil kerja keras kami berdua. Semoga kami selalu dimudahkan oleh Allah untuk menyelesaikan 8 tahun cicilan yang masih tersisa. Aamiin … :-)
Saat ini, kondisi ekonomi kami memang seperti ini. Tapi, wallahua’lam nanti ke depannya seperti apa. Apakah seiring berjalannya waktu nanti kondisi ekonomi kami masih seperti ini ataukah naik ke titik lebih tinggi, wallahu’alam. Atau malah berada di titik lebih rendah dari sekarang? Wallahu’alam bishawab juga. Kami berharap tidak demikian. Kami selalu berdoa agar Allah mencukupkan kami. Cukup untuk bisa naik haji, cukup untuk mendirikan sekolah, dan cukup-cukup yang lainnya. :-D
Jadi, silakan saja kalau mau mengklaim yang bukan miliknya. *kok kayaknya gemes banget gini sih, Bu?* Silakan mengklaim rumah orang tuanya sebagai rumahnya, mengklaim kendaraan atau mobil orang tuanya atau mobil saudaranya sebagai miliknya, mengklaim kekayaan orang tuanya atau saudaranya sebagai kekayaannya. Tapi, kami memilih untuk tidak mengklaim milik siapapun sebagai milik kami. Kami mengklaim apa yang kami dapat dari hasil keringat kami sendiri saja. Toh, pada dasarnya, apa yang kita nikmati atau miliki sekarang, itu adalah titipan dari Allah untuk kita jaga. Nanti kalau Allah berkehendak mengambilnya kembali, ya sudah kita kembali menjadi orang yang fakir harta.
Sudah, cukup itu aja. Saya juga cuma lagi pengin nulis aja. Piss!! :-D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar