Kamis, 22 Desember 2011

Suamiku Sayang, Cintamu Begitu Berat




Siang ini, saya mendapat telepon dari ibu saya di Jogja. Setelah ngobrol dengan ibu di telepon, saya tiba-tiba teringat tentang sesuatu hal. Obrolan saya dengan ibu di telepon tadi membuat memori saya melayang-layang ke sebuah masa. *gayanya!* Dulu, entah berapa bulan yang lalu, saya dan beberapa kawan pernah mengobrolkan hal ini. Tapi, sesuatu ini nggak ada kaitannya dengan si Syahrini looooh. Hihihi … :-)

Obrolan saya dan kawan-kawan itu begini, orang tua pada umumnnya begitu bangga serta cenderung over estimate jika memiliki menantu (terutama laki-laki) yang memiliki penghasilan besar. Mereka akan semakin over estimate jika status yang disandang si menantu adalah PNS. Jika anak gadisnya meminta izin untuk menikah, kebanyakan orang tua akan bertanya kepada anak gadisnya begini, “Calonnya PNS atau bukan?” atau “Calonnya sudah jadi PNS atau belum?”. Kalau si calon menantu sudah berstatus PNS, orang tua akan menanggapi permintaan izin anak gadisnya untuk menikah dengan berkata begini, “Alhamdulillah kalau calonnya sudah PNS. Itu yang diharap-harap. Hidupmu nanti pasti mulyo, terjamin masa depan dan masa tuamu. Bapak ibu jadi ayem.” Kalau belum menjadi PNS, orang tua akan menanggapi begini, “Belum PNS, ya?” dengan mimik muka yang datar-datar aja atau bahkan cenderung sedih. Aduuuh … tapi sebelumnya, maaf ya buat para PNS. Bukan maksud hati menyinggung loh. Beneran. Piss, ya! :-D

Kebanggaan orang tua terhadap materi dan juga status yang dimiliki oleh si calon menantu (atau menantu) itu mengalahkan hal lain yang sifatnya immaterial. Sifat penyayang, baik hati, mengayomi, sabar, lembut terhadap istri, tertutupi oleh materi. Asal materi dan status dipandang oke, sifat-sifat tadi dilirik belakangan.

Hmmm … saya betul-betul bersyukur sekali memiliki orang tua seperti bapak dan ibu saya. Saat dulu saya meminta izin menikah, mereka tidak menanyakan apakah calon suami saya itu berstatus PNS atau bukan. Mereka juga tidak menanyakan apakah calon suami saya berpenghasilan besar atau sedikit. Tapi, sebagai anak dan setelah melihat pengalaman dari banyak teman yang sudah terlebih dulu menikah, saya memilih bilang duluan kepada orang tua kalau calon suami saya bukanlah PNS dan saat itu belum memiliki penghasilan yang besar. Sebelum ditanya, lebih baik bilang terlebih dulu. Entah, jika saja saya tidak bilang bahwa calon suami saya waktu itu bukan PNS dan belum memiliki penghasilan yang besar, apakah bapak ibu akan bertanya kepada saya tentang status itu atau tidak.

Padahal, bapak saya adalah pensiunan PNS. Biasanya, orang tua yang berstatus PNS atau pensiunan PNS menginginkan anaknya (maupun menantunya) juga PNS. Jadi kayak dinasti aja, ya? Kalau orang tuanya PNS, anak dan menantunya juga kudu PNS. Hihihi … Tapi, sepertinya bapak saya lain dari para orang tua umumnya. Bapak sama sekali tidak mensyaratkan PNS untuk menjadi menantunya.

Kata-kata dari bapak saya yang sampai saat ini saya ingat adalah begini, “Status PNS atau bukan PNS, itu tidak penting. Yang paling penting adalah seorang laki-laki harus sayang kepada istri dan juga keluarga, pengertian dan setia. Buat apa berstatus sebagai PNS atau kaya secara materi tapi tidak sayang kepada istri dan keluarga? Mau calon suamimu itu berstatus PNS, bapak ibumu setuju. Atau mau calon suamimu itu bukan PNS, bapak ibumu juga setuju. Yang penting, calon suamimu itu sayang sama kamu, setia, dan pengertian. Soal penghasilan, yang penting dia sudah bekerja. Nggak apa-apa sekarang belum berpenghasilan besar, nanti lama-lama juga besar penghasilannya.”

Mak cleessss hati saya waktu itu. Lega! Padahal, sebelum saya meminta izin untuk menikah, saya udah khawatiran aja bawaannya. Takut mau memperkenalkan calon suami jangan-jangan nanti ditolak sama bapak ibu saya.Hehehe ... :-) *Maafkan daku, ya Suamiku sayang! Hihihihi …*

Setelah menikah, ibu saya berkali-kali tersenyum ketika melihat perlakuan suami saya kepada saya. Selama saya hamil, ketika kami berdua pulang ke rumah orang tua saya, suami saya rajin memijit kedua kaki saya. Kadang memijit tengkuk saya atau mengelus-elus kepala saya. Jika sedang berjalan keluar rumah, tangan saya digandengnya. Komentar yang sering keluar dari mulut ibu saya begini, “Wah, senenge. Aku mbiyen dhek jaman meteng ora tau je dipijeti bapakmu. Gek kuwi le mijeti yo pendak wengi?” (Wah, senengnya. Aku dulu waktu hamil nggak pernah dipijiti bapakmu. Itu mijitinnya tiap malem?-red

Ketika belum hamil, perlakuan suami saya kepada saya pun juga begitu. Suami saya tidak pernah rikuh atau kikuk memperlihatkan rasa sayangnya kepada saya di hadapan bapak ibu saya. Dan itu bukan dibuat-buat, karena dalam keseharian kehidupan kami berdua juga memang begitu. Kami juga nggak rikuh memanggil dengan panggilan sayang ketika ada di hadapan orang tua kami.

Jika pulang kerja, tak jarang pula dia membawakan saya oleh-oleh. Yaaah … meskipun oleh-olehnya terbilang sederhana. Hanya gorengan atau wedang jahe gepuk panas atau pisang owol coklat keju favorit saya. Ketika ibu tahu tentang kebiasaan suami saya yang sering membawakan oleh-oleh ketika pulang kerja, ibu saya juga senyum-senyum. Dan saya menangkapnya sebagai senyum bahagia seorang ibu mengetahui anaknya hidup bahagia.

Saat tadi ngobrol dengan ibu saya di telepon, saya kembali diingatkan bahwa kebahagiaan orang tua adalah melihat anak-anaknya bahagia, entah saat anaknya masih lajang atau sudah berkeluarga. Lebih-lebih orang tua akan berbahagia jika anaknya telah menemukan belahan jiwa dan hidup dengan bahagia. Dan ukuran bahagia menurut ibu saya sebagai orang tua, tidak terletak pada status maupun penghasilan anak-anak maupun menantunya. Tapi, melimpahnya kasih sayang dalam hubungan antara anaknya dengan menantunya. Uang atau penghasilan memang penting, tapi bukan segala-galanya.

And well … suami saya bukanlah PNS, tapi kami berdua hidup cukup dan selalu berbahagia. Dan itu membuat bapak ibu saya, bapak ibu mertua saya, juga saudara-saudara saya ikut berbahagia. Saat ini, suami saya belumlah berpenghasilan besar yang bisa membeli ini itu dan menghadiahi orang tua dengan ini itu. Tapi, kami berdua merasa berkecukupan dan senantiasa berbahagia dengan hidup kami. Dan itu membuat orang tua kami dan juga saudara-saudara kami ikut berbahagia.

Saat ini, suami saya bukanlah orang kaya. Tapi, setiap saat suami saya selalu melimpahi saya dengan perhatian dan kasih sayang yang luar biasa. Tanpa pernah saya memintanya, dia sudah bersuka rela memberikan perhatian, cinta, dan kasih sayang yang luar biasa kepada saya. Dia tidak pernah marah kepada saya, tidak pernah berkata-kata kasar kepada saya, tidak pernah berkata-kata dengan intonasi tinggi (membentak) kepada saya, tidak pernah berbohong kepada saya, tidak pernah meremehkan saya, tidak pernah tidak mendukung saya, juga tidak pernah menelantarkan saya. Dan itu membuat saya begituuuuu bahagia. 

Dan akhirnya, nikmat Allah yang manakah yang bisa saya dustakan? Sungguh, semua ini adalah nikmat dari Allah untuk saya. Dan sungguh, nikmat kasih sayang, cinta, dan perhatian dari suami saya itu bernilai jaaaaauuuuuuhh lebih mahal daripada harta. Bahkan tidak akan bisa terbeli dengan harta sebanyak apapun. Mungkin saat ini, dia belum kaya secara harta. Tapi, dia sangat kaya akan rasa cinta dan kasih sayang.  Terus, apanya yang kuraaaaaangg? 


I Love You, Suamiku … Selalu dan selalu … :-D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar