Suatu
malam saat bayi kami yang kini berusia 3 bulan telah terlelap dalam tidurnya,
saya dan suami terlibat diskusi seru. Malam itu, bahan yang kami diskusikan adalah
seputar pemberian ASI dan juga maraknya iklan-iklan susu formula di media.
Sebagai orang tua baru, kami memang sering berdiskusi mengenai seni parenting
dan berbagai hal lainnya tentang pengasuhan anak. Maklum, kami belum
berpengalaman. Jadilah kami sering terlibat diskusi.
Apa
yang kami diskusikan itu, ternyata mirip dengan sebuah berita di sebuah situs.
Dalam berita yang diberi judul Pemahaman Ibu Menyusui Masih Rendah itu, Ibu
Utami Rusli yang saat ini menjadi Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia
menuturkan bahwa banyak ibu tidak memberikan ASI dengan benar karena tidak tahu
manfaatnya.
Tingkat
pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah. Kondisi ini terjadi di semua
daerah dan kelompok ekonomi masyarakat. Rendahnya pengetahuan tentang manfaat
ASI dan gencarnya informasi susu formula, membuat masa depan banyak anak
Indonesia dikorbankan. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010, hanya 15,3
persen bayi berumur kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Makin
tinggi kondisi ekonomi keluarga, makin rendah tingkat pemberian ASI eksklusif.
Tingkat pemberian ASI eksklusif tertinggi terdapat pada kelompok keluarga
termiskin sebesar 34,7 persen.
Nah,
apa yang malam itu kami diskusikan, sangat mirip dengan isi berita itu. Dari
pengamatan kami berdua di lingkungan sekitar kami saja, kami benar-benar
melihat bagaimana efek dari maraknya iklan-iklan susu formula di media massa
(termasuk media massa dimana suami saya sendiri bekerja). Tak diragukan dan tak
perlu diperdebatkan lagi bagaimana kandungan gizi dalam ASI. Bagaimanapun,
kandungan gizi dalam ASI tidak akan mampu ditandingi dengan berbagai macam
merek susu formula. Semahal apapun harga susu formula tersebut. Kalau memang
demikian, kenapa para orang tua (para ayah dan para ibu) mesti repot-repot
mengeluarkan uang demi membeli susu formula yang mana kandungan gizinya tidak
ada apa-apanya dibanding ASI? Kan ada susu kualitas nomer wahid ada dalam
payudara para ibu? Tak usah membeli, tak usah mengeluarkan uang. Dan ini nih
yang terang-terang menjadi tanda efek dari iklan-iklan susu formula.
Iklan
susu formula tersebar di mana-mana. Bisa kita lihat di televisi misalnya, dalam
satu jam acara, coba hitung ada berapa kali iklan susu formula. Sementara,
kehebatan ASI yang merupakan susu kualitas nomer wahid, tak ada iklannya. Ini
jelas timpang. Pantas saja jika kemudian banyak orang tua yang tidak paham
tentang manfaat ASI. Ditambah lagi, banyak orang tua yang malas mencari
informasi tentang ASI. Sehingga para orang tua ini lantas tergiur untuk membeli
susu formula yang banyak diiklankan. Tinggal pilih saja mana merek yang akan
dibeli.
Memang,
kami berdua menyadari bagaimana susahnya ikut mengedukasi tentang manfaat ASI atau
kampanye ASI, terutama kampanye pemberian ASI eksklusif. Terutama sekali karena
kami berdua adalah orang awam, bukan orang yang berprofesi di dunia medis. Orang
tentu susah percaya dengan perkataan orang-orang seperti kami. Masalah ini pun menjadi
sensitif, karena tak sedikit orang tua yang tidak memberikan anaknya ASI
eksklusif, kemudian dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI, dan
menyempurnakan penyusuan hingga umur anak 2 tahun. Tak sedikit orang tua yang
memberikan susu formula sejak bayi-bayi mereka lahir. Atau ada juga yang
menggabung memberikan ASI tapi juga sekaligus susu formula. Para orang tua
seperti ini jika kemudian disinggung tentang pemberian ASI, terutama ASI
eksklusif, biasanya akan sensitif dan kemudian bisa tersinggung.
Saya
paham dengan para ibu yang memiliki permasalahan kesehatan atau ternyata ASInya
benar-benar mampet. Sehingga dengan terpaksa, mereka memberikan susu formula
kepada bayi-bayi mereka. Itu adalah kondisi darurat, dan saya memahami itu. Tapi, lain hal jika ASI si ibu keluar, dan
bahkan berlimpah, tapi kemudian si bayi tidak diberi ASI eksklusif selama 6
bulan. Dan pemberian ASI pun juga tidak disempurnakan hingga 2 tahun. Jujur saja
saya sedih jika tahu ada orang tua yang begini. ASI banyak diproduksi, tapi
tidak diberikan kepada bayi. Saat si ibu kembali bekerja, si ibu lebih memilih
memberikan susu formula dan meninggalkan pemberian susu nomer wahid untuk
bayi-bayi mereka selama ditinggal kerja. Duuuuh … ibu! Dengan alasan malas atau
tak sempat memerah, mereka memilih untuk memberikan susu formula saja.
Makhluk
mamalia dianugerahi susu untuk disusukan kepada bayi-bayinya. Bayi-bayi kuda
mendapatkan susu dari ibunya, si kuda. Bayi-bayi kambing mendapatkan susu dari
ibunya, si kambing. Bayi-bayi onta mendapatkan susu dari ibunya, si onta.
Bayi-bayi sapi mendapatkan susu dari ibunya, si sapi. Bayi-bayi monyet
mendapatkan susu dari ibunya, si monyet. Semua bayi itu yang notabene berbeda
jenis itu, mendapatkan susu dari jenisnya sendiri. Jika semisal susu si kambing
habis, si kambing tak lantas meminta si kuda untuk menyusui anaknya. Susu yang
cocok untuk bayi onta ya susu onta, susu yang cocok untuk bayi kambing ya susu
kambing. Begitu juga dengan manusia, susu yang cocok untuk bayi manusia ya susu
manusia.
Jadi,
jika kemudian bayi manusia diberi susu yang dihasilkan hewan, semisal sapi, tentu
ini tidak cocok. Bahkan, ASI yang dihasilkan oleh perempuan yang bukan ibu
kandung si bayi, juga tidak cocok dengan bayi tersebut. Meskipun ASI tersebut
tidak memiliki efek negatif bagi bayi yang mengonsumsinya. Dengan begitu
artinya, bayi kita ya hanya cocok dengan ASI yang kita hasilkan sendiri.
Ketika
ada para orang tua yang tidak berkenan atau bahkan mungkin tersinggung dengan
kenyataan tersebut di atas, ya sudahlah. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Toh,
memangnya apa yang mau saya lakukan? Tidak ada. Saya hanya mengatakan yang
sebenarnya. Bahwa susu yang cocok untuk bayi kambing ya susu yang dihasilkan kambing,
susu yang cocok bagi bayi onta ya susu yang dihasilkan onta, susu yang cocok
bagi bayi monyet ya susu yang dihasilkan monyet, susu yang cocok bagi bayi sapi
ya susu yang dihasilkan sapi, susu yang cocok bagi manusia ya susu yang
dihasilkan manusia.
Para
orang tua yang tidak berkenan dengan kenyataan di atas, mungkin berpikiran
bahwa anak-anak mereka disamakan dengan anak binatang, yaitu anak sapi. Sebab,
anak-anak mereka selama ini mengonsumsi susu sapi. Padahal, tidak ada orang
yang sangat mencintai anak-anak, mengecap anak-anak sebagai anak hewan karena
anak-anak itu mengonsumsi susu yang dihasilkan hewan. Saya sebagai orang yang
masih belajar, juga sama sekali belum bijaksana ini, mengajak para orang tua
untuk saling membuka pikiran kita. Ibu … Bapak … tidak ada yang mengecap anak
Bapak dan Ibu sebagai anak hewan.
Sebagai
orang yang sedang belajar menjadi orang tua, saya dan suami belum memiliki
banyak pengalaman dan juga ilmu. Dan pada diskusi malam itu, suami saya bilang
bahwa yang bisa kami lakukan adalah mengatakan manfaat ASI. Tidak menyuruh para
orang tua. Sebab, para orang tua yang notabene sudah dewasa itu tentu tidak mau
disuruh-suruh, apalagi digurui. Saat sedang terlibat dalam diskusi kemudian
kita mengutarakan tentang manfaat ASI, tapi kemudian teman-teman kita yang juga
telah menjadi orang tua, menolak apa yang kita utarakan, ya sudah. Biarkan
mereka mencari ilmu sendiri agar nanti tercerahkan sendiri.
Menyitir apa yang
dikatakan Ibu Rachmadhani selaku Konselor Laktasi dan Ketua AIMI Jawa Tengah,
mengkritik langsung pendapat mereka, mungkin bisa menyinggung perasaan mereka
dan menjauhkan kita dari mereka. Menerima pendapat mereka, bukan menyetujui,
mungkin bisa memberikan suasana yang lebih netral. Sharing artikel-artikel
tentang ASI juga bisa dicoba untuk membuka wawasan mereka. Dengan berjalannya
waktu, saat anak kita terbukti sehat, teman-teman kita akhirnya akan mengakui
bahwa pilihan kita tepat. Yups!!! Dan kami menerapkan hal itu.
Semoga di kemudian
hari, kami tidak salah ucap. Maksud baik kami tidak disalahartikan. Toh, ada
banyak sekali kejadian dimana maksud baik belum tentu diterima dengan baik
pula. Karena ya begitu … ini adalah hal yang sensitif. Para orang tua amat
sangat mudah sensi jika berbicara soal ASI maupun susu formula. :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar