Senin, 28 Maret 2011

Kisah Perjalanan Satu Tahun Pernikahan

Hari ini adalah hari Senin, tanggal 28 Maret 2011. Ada sebuah rasa lain ketika tadi pagi saya bangun tidur. Rasanyaaaa … berbeda. Ada kebahagiaan, tapi juga ada kesedihan. Setelah saya membuka mata, saya lihat sebelah saya. Hmmm … suami saya belum bangun. Ketika saya tepuk-tepuk pipinya pelan-pelan, barulah dia membuka mata. Melihatnya sudah bangun, memori saya berputar …

Satu tahun yang lalu, tepatnya hari Minggu, juga tanggal yang sama … 28 Maret. Hanya angka tahunnya yang berbeda, 2010. Sebuah hari dan tanggal yang sangat bersejarah dalam kehidupan saya dan tentunya juga suami saya. Di hari dan tanggal itu, saya diperistri oleh suami saya. Seorang lelaki yang awalnya bukan siapa-siapa saya, tapi sejak hari Minggu tanggal 28 Maret 2010 lalu menjadi seseorang bagi saya. Bukan hanya sekadar seseorang, tapi seorang qawwam bagi saya, pemimpin bagi saya. Seseorang yang wajib saya ikuti semua perintahnya (selama berada di jalan Allah … dan insya Allah suami saya akan selalu berada di jalan Allah), saya berikan bakti, saya sayangi, saya cintai, juga saya jaga nama baiknya dan harta bendanya.

Hari itu, sekitar jam 10.30 pagi menjelang siang, akad nikah yang hanya beberapa menit akhirnya mengubah status dan kehidupan saya. Saya tidak lagi seorang lajang, tapi sudah berubah menjadi istri. Saya pun tidak lagi hanya memikirkan kehidupan ‘saya sendiri’, tapi telah ada ‘kehidupan orang lain’ yang harus saya pikirkan.

Dan ini … ini adalah sebuah ungkapan seorang istri untuk suami tercinta ….

Suamiku sayang … terima kasih atas perjalanan waktu selama satu tahun belakangan ini. Banyaaaaak banget yang udah kakak beri. Semuanya sangat berkesan. Ada haru biru dan juga tawa. Hmmm … semuanya membekas. Dan atas semua itu, adek bilang terima kasih. Semuanya sangat mengesankan, Sayang.

Perjalanan pernikahan kita berjalan baik dan tanpa rintangan. Hingga kemudian sebuah ujian ternyata mendatangi kita. Saat itu tepatnya tanggal 25 April 2010, kalau nggak salah hari Jumat. Hmm … usia pernikahan kita saat itu baru menjelang satu bulan. Tapi, kita sudah harus menghadapi ujian itu. Sehabis subuh, tiba-tiba perut terasa sakit. Pelan tapi pasti, rasa sakit itu kian parah. Sakiiiiiiit. Adek nggak tega membangunkan kakak yang sehabis subuh tidur lagi. Soalnya, malemnya kakak habis piket, baru pulang hampir jam 2 malem. Tapi, sekitar jam 6.40 pagi, sakitnya sudah tidak bisa ditahan. Perut serasa kram, sangat kaku. Kaki dan tangan juga mulai kesemutan dan kram. Sakitnya sangat menyiksa, seperti ada pisau yang menyilet-nyilet. Dan dengan terpaksa, kakak dibangunin juga.

Saat itu, kakak terlihat sangat panik. Adek menangis dan mengaduh karena saking sakitnya. Dengan asal, kakak menyambar handphone dan menelepon seorang teman meminta diantarkan ke rumah sakit dengan mobilnya. Tapi, ternyata, mobilnya sedang dipakai untuk mengantar anaknya ke sekolah. Alhamdulillah … kita memiliki teman yang sangat baik. Meskipun saat itu tidak bisa meminjamkan mobilnya, karena sedang dipakai untuk mengantar ke sekolah, tapi dia menelepon taksi untuk kita ke rumah sakit (terima kasih buat Bu Hesti dan Pak Eko yang sejak pagi-pagi udah ikut nungguin lama di rumah sakit, juga ikut ribet di rumah sakit … terima kasih banyaaaakkkk).

Dengan terus menahan sakit, akhirnya sampai juga di rumah sakit. Hmm … saking nggak kuat menahan sakit, adek minta dibius. Tapi, ternyata prosedur medis tidak demikian. Adek dikasih obat pereda sakit, entah berapa kali ngasihnya. Soalnya saking sakitnya, dikasih sekali tetep aja masih kerasa sakit.

Daaaannn … betapa kagetnya kita ketika dokter mengatakan bahwa ada endometriosis yang ukurannya sudah sangat besar dan sudah parah sehingga mau tidak mau, endometriosis itu harus diangkat. Jika tidak, sakit amat sangat itu akan terus terasa. Dan satu hal lagi, ovarium kanan, tempat dimana endometriosis itu ada, dengan terpaksa harus diangkat. Sebab, ovarium kanan sudah tidak berfungsi, salurannya sudah tersumbat oleh jaringan endometriosis.

Adek sangat kaget dengan ‘vonis’ itu, tapi mencoba untuk tenang. Tapi, ketika melihat kakak menatap adek dengan tatapan sendu, kemudian menangis dan memegang tangan adek erat-erat, bobol juga pertahanan adek. Kita menangis bersama. Oh, Allah … inikah yang harus kami hadapi? Apakah Kau memandang kami kuat dan mampu menanggung ujian ini? Baiklah … Kau Maha Besar, ya Rabb. Kau Maha Segalanya. Ujian ini hanya kecil di hadapan-Mu, ya Rabb. Sedangkan Kau, Kau begitu besar. Dan kami yang sangat kecil di hadapan-Mu ini, yang sedang Kau beri ujian, tersaruk-saruk memohon kepada-Mu, ya Rabb … Berilah kami kekuatan dan kemampuan untuk menjalaninya dengan baik. Kami tahu, Kau tidak meninggalkan kami. Dan kami tahu, ini adalah bagian dari skenario-Mu untuk kami. Maka … inilah kami, ya Rabb. Kami pasrah pada-Mu. Berilah kami yang terbaik. Begitu doa adek saat itu … dan mungkin juga kakak. Dan doa itu … terus ada sampai saat ini.

Setelah mendapatkan banyak masukan dan juga pertimbangan, akhirnya endometriosis itu diangkat juga. Termasuk ovarium kanan adek. Oh … sedihnya. Tapi, ya udahlah.

Suamiku sayang … adek benar-benar terharu dengan semua yang kakak lakukan untuk adek selama dirawat di rumah sakit. Adek inget … ketika sadar setelah dioperasi, kakak duduk di samping kiri adek. Kakak menangis. Setelah adek keluar dari rumah sakit, kakak bilang kalau ternyata selama adek dioperasi, kakak juga menangis di mesjid rumah sakit. Kakak takut adek nggak bangun lagi. Oooohhh … suamiku sayang.

Ketika saatnya makan, kakak yang nyuapi adek. Ketika adek nggak nyaman tidur, kakak yang memijat tangan dan kaki. Ketika urine yang tertampung di kantong kateter udah penuh, kakak juga yang membuangnya. Sama sekali tidak ada rasa jijik atau risih. Semua kakak lakukan dengan sangat sangat tulus dan tanpa mengeluh. Atau ketika adek sudah diperbolehkan latihan berjalan, kakak juga yang memapah atau memegangi adek. Sedangkan ibu (ibu dan ibu mertua) yang juga menunggui adek di rumah sakit, hanya ‘menunggui’ aja. Soalnya, semuanya kakak yang ngerjain.

Hmm … ditambah lagi saat itu ada kejadian yang bisa jadi saat itu menjadi musibah. Handphone kakak hilang. Ketika menunggui adek dioperasi dan dokter memanggil kakak setelah operasinya selesai, secara tidak sengaja handphonenya ditinggal begitu aja di ruang tunggu operasi. Jadilah handphonenya diambil orang. Tapi, alhamdulillah handphonenya ketemu setelah kakak melapor kepada Satpam rumah sakit dan para Satpamnya membuka rekaman CCTV dengan terlebih dahulu kakak terpaksa menyebut bahwa kakak seorang wartawan. Hmm … sebelum menyebut kata wartawan, mereka tidak menggubris laporan. Tapi, begitu kata wartawan itu keluar, barulah mereka pontang-panting mencari-cari dan membuka rekaman CCTV.

Suamiku sayang … terima kasih atas semuanya. Rasa cinta, sayang, perhatian, ketulusan, tumpah-ruah. Kakak memberikan semuanya. Hingga adek pulang dari rumah sakit dan menjalani pemulihan di Wonogiri selama satu minggu, kakak rela bolak-balik Solo-Wonogiri demi istrinya.

Terima kasih, Cinta … rasa sayang itu pun masih terus tumpah ruah hingga kini saat usia pernikahan kita tepat berumur satu tahun. Kakak tidak pernah mengeluh, protes, ataupun marah atas apa yang terjadi dengan kita. Demikian juga kakak nggak pernah mengeluh, protes, ataupun marah terhadap adek sebagai istri yang mendampingi dan melayani kakak. Semuanya kakak terima dengan tulus. Kakak bilang, kakak bersyukur mendapatkan istri seperti adek. Hmmm … oya??

Cinta … maafkan adek yang belum bisa menjadi istri yang baik buat kakak. Meskipun kakak bilang bersyukur, adek tetep merasa adek belum menjadi istri yang baik buat kakak. Semoga pernikahan kita akan terus langgeng. Rasa cinta, sayang, perhatian, kepedulian, ketulusan itu akan terus tumpah-ruah hingga kelak kita tua ketika rambut kita sudah memutih semua, kulit kita telah keriput, dan gigi kita ompong.

Sayang … I love you … ^_^



Tidak ada komentar:

Posting Komentar