Tadi pas saya membaca status temen-temen di facebook, tiba-tiba saya teringat dengan cerita penjahit baju langganan saya di Jogja. Hmm … sebenernya status-status yang saya baca nggak ada hubungannya sih sama cerita yang saya dapet itu. Cuma rada-rada nyerempet aja, dikiiiittt. :-D
Pas terakhir saya ke rumah orang tua saya di Jogja minggu kemarin, saya ngambil jahitan baju suami di tempat penjahit langganan saya yang rumahnya nggak jauh dari rumah orang tua saya. Si mbak penjahitnya nanya, kalau Solo itu jauh nggak sama Karanganyar. Saya bilang nggak jauh, paling kalau dari Balaikota Solo cuma butuh waktu 30 menit buat nyampai di Karanganyar kota. Si mbak penjahitnya bilang kalau dia punya langganan seorang wanita yang kerja di Karanyanyar, tepatnya bekerja di instansi Pemkab Karanganyar. Si mbak penjahit langganan saya itu bilang kalau pelanggannya itu sering banget njahitin baju seragam buat kerja.
“Langganan saya cerita ke saya, Mbak, kalau dia jadi PNS sekarang ini karena nyogok. Dia itu anak tunggal. Jadi, bapaknya bela-belain ngeluarin duit 80 juta buat nyogok biar anak tunggalnya jadi pegawai negeri. Bapaknya nggak mau kalau cuma punya anak satu, tapi nggak jadi PNS. Jadinya ya meskipun cuma seorang petani, bapaknya bela-belain nyari duit buat nyogok,” begitu kata mbak penjahit langganan saya.
Gleeekkk!!! Saya dan suami saling pandang mendengar itu. Meskipun soal sogok-menyogok untuk mendapatkan pekerjaan di instansi pemerintah maupun nonpemerintah bukan hal baru lagi, tapi ketika saya mendapat cerita seperti itu, rasanya ada sesuatu yang bikin dada saya sesak. Saya juga nggak asing lagi mendengar cerita atau kabar seperti itu. Tapi … setiap kali mendengar kabar serupa, saya merasa miris.
“Langganan saya itu nglajo lho, Mbak. Setiap hari naik kereta Prameks bolak-balik dari Sentolo ke Solo. Padahal dia rumahnya nggak jauh dari sini. Habis itu dilanjut naik bis ke Karangnyar. Katanya dia nggak tega ninggalin anaknya yang masih kecil. Suaminya punya usaha di sini, jadi dia belum bisa tinggal di Karanganyar,” katanya lagi, dan saya pun cuma manggut-manggut.
“Apa nggak tombok to, Mbak, kalau njenengan bolak-balik kayak gitu setiap hari? Kalau 2 juta per bulan, ada to, Mbak, gajinya? Saya tanya seperti itu, Mbak, ke langganan saya itu. Dia bilang yang penting bisa kerja, harapan orang tuanya terkabul. Masalah uang transport nggak terlalu dipikirkan. Wong kadang katanya dia dapet dari perusahaan-perusahaan yang kerja sama sama Pemkab sana,” tambahnya.
Hhhhh … saya tambah nelan ludah. Miris. Demi menjadi PNS, rela membuang uang sedemikian besar. Dan setelah menjadi PNS, sibuk mbalikin modal. Hmm … sebegitu rusakkah moral di negeri tercinta ini?
Menurut si mbak penjahit langganan saya tadi, dia juga punya langganan satu lagi yang juga menjadi abdi negara di Pemkab Klaten. Untuk menjadi PNS, dia mengeluarkan uang 50 juta buat nyogok. Masya Allah … kok dia juga nggak malu cerita-cerita ke orang-orang kalau dia udah nyuap puluhan juta buat jadi PNS? Hmm … bener-bener udah sangat parah.
Pulang dari ngambil jahitan, saya masih termangu-mangu. Orang-orang emang berani nekad biarpun dengan cara yang salah. Yang penting tujuannya tercapai. Nggak peduli mesti sikut kanan kiri, nyuap, bahkan korupsi. Na’udzubillahimindzalik …
Saya pun jadi teringat dengan adik saya. Tiga tahun lalu, adik saya dinyatakan diterima di Departemen Perindustrian (sekarang Kementerian Perindustrian) penempatan Makassar Sulawesi Selatan. Sewaktu kabar itu diketahui banyak orang, para tetangga dan relasi kedua orang tua saya pada nanya “Nyogok berapa, Pak/ Bu, biar bisa keterima jadi PNS seperti itu? Mesti sekarung ya Pak/ Bu, duitnya? Lha wong jadi PNS pemerintah pusat. Kan uang sogoknya pasti lebih besar daripada jadi PNS pemerintah daerah.”
Mendengar pertanyaan itu, bapak ibu saya bilang, “Duit apa? Sedompet aja nggak punya kok mau sekarung. Buat hidup aja pas-pasan.” Dijawab seperti itu, banyak orang yang masih tidak percaya. Mereka menyangka pasti bapak saya sudah mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juga rupiah buat meloloskan adik saya di Departemen Perindustrian. Mereka banyak yang nggak percaya bahwa lolosnya adik saya itu karena murni tanpa uang suap. Padahal apa yang dikatakan bapak ibu saya memang benar. Bapak saya cuma seorang pensiunan guru, sementara ibu saya hanya ibu rumah tangga. Tentu gaji pensiunan PNS nggak cukup buat nyuap. Buat hidup sehar-hari aja mepet.
Hmmm … kalau kayak gini, sepertinya semakin menegaskan aja bahwa untuk bisa bekerja, terutama menjadi bagian dari pemerintah, banyak pelamar kerja harus nyogok agar bisa lolos. Bahkan, nggak jarang pula, udah nyogok jutaan rupiah, tapi pekerjaan nggak didapet.
Semoga kita semua dijauhkan dari bisikan-bisikan setan yang membuat kita berpikir untuk melakukan hal-hal seperti itu. Amin ya rabbal’alamin …
Pas terakhir saya ke rumah orang tua saya di Jogja minggu kemarin, saya ngambil jahitan baju suami di tempat penjahit langganan saya yang rumahnya nggak jauh dari rumah orang tua saya. Si mbak penjahitnya nanya, kalau Solo itu jauh nggak sama Karanganyar. Saya bilang nggak jauh, paling kalau dari Balaikota Solo cuma butuh waktu 30 menit buat nyampai di Karanganyar kota. Si mbak penjahitnya bilang kalau dia punya langganan seorang wanita yang kerja di Karanyanyar, tepatnya bekerja di instansi Pemkab Karanganyar. Si mbak penjahit langganan saya itu bilang kalau pelanggannya itu sering banget njahitin baju seragam buat kerja.
“Langganan saya cerita ke saya, Mbak, kalau dia jadi PNS sekarang ini karena nyogok. Dia itu anak tunggal. Jadi, bapaknya bela-belain ngeluarin duit 80 juta buat nyogok biar anak tunggalnya jadi pegawai negeri. Bapaknya nggak mau kalau cuma punya anak satu, tapi nggak jadi PNS. Jadinya ya meskipun cuma seorang petani, bapaknya bela-belain nyari duit buat nyogok,” begitu kata mbak penjahit langganan saya.
Gleeekkk!!! Saya dan suami saling pandang mendengar itu. Meskipun soal sogok-menyogok untuk mendapatkan pekerjaan di instansi pemerintah maupun nonpemerintah bukan hal baru lagi, tapi ketika saya mendapat cerita seperti itu, rasanya ada sesuatu yang bikin dada saya sesak. Saya juga nggak asing lagi mendengar cerita atau kabar seperti itu. Tapi … setiap kali mendengar kabar serupa, saya merasa miris.
“Langganan saya itu nglajo lho, Mbak. Setiap hari naik kereta Prameks bolak-balik dari Sentolo ke Solo. Padahal dia rumahnya nggak jauh dari sini. Habis itu dilanjut naik bis ke Karangnyar. Katanya dia nggak tega ninggalin anaknya yang masih kecil. Suaminya punya usaha di sini, jadi dia belum bisa tinggal di Karanganyar,” katanya lagi, dan saya pun cuma manggut-manggut.
“Apa nggak tombok to, Mbak, kalau njenengan bolak-balik kayak gitu setiap hari? Kalau 2 juta per bulan, ada to, Mbak, gajinya? Saya tanya seperti itu, Mbak, ke langganan saya itu. Dia bilang yang penting bisa kerja, harapan orang tuanya terkabul. Masalah uang transport nggak terlalu dipikirkan. Wong kadang katanya dia dapet dari perusahaan-perusahaan yang kerja sama sama Pemkab sana,” tambahnya.
Hhhhh … saya tambah nelan ludah. Miris. Demi menjadi PNS, rela membuang uang sedemikian besar. Dan setelah menjadi PNS, sibuk mbalikin modal. Hmm … sebegitu rusakkah moral di negeri tercinta ini?
Menurut si mbak penjahit langganan saya tadi, dia juga punya langganan satu lagi yang juga menjadi abdi negara di Pemkab Klaten. Untuk menjadi PNS, dia mengeluarkan uang 50 juta buat nyogok. Masya Allah … kok dia juga nggak malu cerita-cerita ke orang-orang kalau dia udah nyuap puluhan juta buat jadi PNS? Hmm … bener-bener udah sangat parah.
Pulang dari ngambil jahitan, saya masih termangu-mangu. Orang-orang emang berani nekad biarpun dengan cara yang salah. Yang penting tujuannya tercapai. Nggak peduli mesti sikut kanan kiri, nyuap, bahkan korupsi. Na’udzubillahimindzalik …
Saya pun jadi teringat dengan adik saya. Tiga tahun lalu, adik saya dinyatakan diterima di Departemen Perindustrian (sekarang Kementerian Perindustrian) penempatan Makassar Sulawesi Selatan. Sewaktu kabar itu diketahui banyak orang, para tetangga dan relasi kedua orang tua saya pada nanya “Nyogok berapa, Pak/ Bu, biar bisa keterima jadi PNS seperti itu? Mesti sekarung ya Pak/ Bu, duitnya? Lha wong jadi PNS pemerintah pusat. Kan uang sogoknya pasti lebih besar daripada jadi PNS pemerintah daerah.”
Mendengar pertanyaan itu, bapak ibu saya bilang, “Duit apa? Sedompet aja nggak punya kok mau sekarung. Buat hidup aja pas-pasan.” Dijawab seperti itu, banyak orang yang masih tidak percaya. Mereka menyangka pasti bapak saya sudah mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juga rupiah buat meloloskan adik saya di Departemen Perindustrian. Mereka banyak yang nggak percaya bahwa lolosnya adik saya itu karena murni tanpa uang suap. Padahal apa yang dikatakan bapak ibu saya memang benar. Bapak saya cuma seorang pensiunan guru, sementara ibu saya hanya ibu rumah tangga. Tentu gaji pensiunan PNS nggak cukup buat nyuap. Buat hidup sehar-hari aja mepet.
Hmmm … kalau kayak gini, sepertinya semakin menegaskan aja bahwa untuk bisa bekerja, terutama menjadi bagian dari pemerintah, banyak pelamar kerja harus nyogok agar bisa lolos. Bahkan, nggak jarang pula, udah nyogok jutaan rupiah, tapi pekerjaan nggak didapet.
Semoga kita semua dijauhkan dari bisikan-bisikan setan yang membuat kita berpikir untuk melakukan hal-hal seperti itu. Amin ya rabbal’alamin …
bayar royalti...disebut2 soalnya :p
BalasHapusberapa royaltinya? :D
BalasHapus