Senin, 09 Mei 2011

Bisik-Bisik Rencana Pernikahan

Akhir-akhir ini, semakin banyak orang yang menyelenggarakan ijab qabul maupun pesta pernikahan secara islami. Namun, ada kalanya merencanakan pernikahan yang islami tidaklah mudah. Harus dengan perencanaan matang. Hal yang juga tak kalah penting adalah membutuhkan waktu panjang untuk merencanakan. Kenapa ’membutuhkan waktu panjang’ ini ditekankan? Sebab, tidak semua orang tua memahami konsep pernikahan islami. Loh ... kok bisa gitu? Bukannya orang tua kita juga muslim, sama seperti kita dan calon pasangan kita? Jawabannya: betul! Orang tua kita juga muslim.

Tapi, kita hidup berdampingan dengan tradisi di masyarakat kita yang berjalan turun-temurun dimana tak jarang tradisi-tradisi itu tidak islami. Tradisi-tradisi itu mewarnai setiap gerak kehidupan, mulai dari hal yang paling kecil hingga hal yang paling besar. Dan orang tua kita, karena menjadi bagian keanggotaan dari masyarakat, secara otomatis juga mengenal tradisi-tradisi yang hidup di masyarakat kita. Bahkan mungkin turut menjalankan dan melestarikan tradisi-tradisi itu.

Nah, ini dia yang sering membutuhkan perencanaan dan waktu panjang untuk mendiskusikannya, baik dengan calon pasangan maupun dengan orang tua. Sejak jauh-jauh hari sebelum merencanakan pernikahan, ada baiknya kita sudah mulai menyicil pembicaraan dengan orang tua kita mengenai konsep pernikahan seperti apa yang kita inginkan. Hal ini perlu dilakukan agar prosesi pernikahan kita menjadi islami.

Mungkin pasangan pengantinnya ingin pernikahan mereka digelar secara islami, mulai dari prosesi awal hingga akhir. Di dalamnya termasuk ada poin memakai baju pengantin (khusus untuk pengantin perempuan) yang tidak ketat, jilbab tetap dijulurkan menutupi dada.

Tapi, yang terjadi saat pernikahan justru baju pengantin perempuannya ketat. Sang pengantin perempuan memakai kebaya yang umumnya memang berbahan tipis dan menerawang. Sebelum memakai kebaya tipis dan berukuran ketat, sang pengantin mengenakan kaos ketat panjang yang kemudian dibungkus lagi dengan kemben yang panjangnya hanya sampai pinggul. Ketika kemudian baju kebaya itu dipakai, secara otomatis, dari pinggul sampai ke bawah menjadi terlihat menerawang. Apalagi bawahan kebayanya adalah kain jarit, seperti halnya pengantin-pengantin Jawa. Tentu pemakaian jarit ini ketat sehingga membentuk lekuk tubuh. Jilbab yang dipakai juga tidak menutupi dada. Penampilan sang pengantin perempuan menjadi sangat jauh berbeda dengan tampilan keseharian yang sehari-hari memakai baju longgar dan jilbab longgar menutupi dada.

Itu tadi baru soal baju pengantin. Dan belum termasuk ritual-ritual kejawen lainnya yang ikut mewarnai prosesi jalannya pernikahan. Misalnya memasang sesajen di perempatan jalan, pertigaan jalan, atau di tempat-tempat keramat, juga ritual-ritual lainnya selama prosesi pernikahan. Termasuk pula acara hiburan yang disuguhkan, semisal menampilkan nyanyian campursari lengkap dengan para sinden yang berdandan bohai dan aduhai. Atau malah mungkin menampilkan penyanyi dangdut komplit dengan goyangan menggodanya. Duh ... duh ...

Awalnya mungkin pasangan pengantin ingin pernikahannya berjalan secara islami. Tapi kenyataannya, hal itu tidak bisa terlaksana karena kurangnya komunikasi dengan orang tua maupun keluarga. Orang tua dan keluarga besar yang masih memegang tradisi (misalnya di Jawa ada tradisi yang bersifat kejawen), tidak bisa dilobi. Jadilah sang anak alias pasangan pengantin ini menjalani prosesi pernikahan dengan konsep orang tua yang memiliki perbedaan dengan konsep islami yang ditawarkan.

Jadi, sekali lagi, mulailah sejak jauh-jauh hari membicarakan dengan orang tua mengenai konsep pernikahan yang diinginkan. Konsep yang islami, dan tentu saja tidak boros dana. Karena sesungguhnya, konsep pernikahan secara islami justru malah irit biaya. Jika orang tua sudah setuju, keluarga besar pastilah akan memahami. Jika pada awalnya ada anggota keluarga besar yang tidak setuju, lama kelamaan mereka juga akan melunak. Hindarilah membicarakan konsep pernikahan setelah mendekati pernikahan. Orang tua yang sudah menganut tradisi, biasanya akan sulit menerima masukan. Akan berbeda hasilnya apabila sejak jauh-jauh hari sudah menyicil satu per satu. Jika ditelateni terus (dan tentunya ini sangat memakan waktu), orang tua insya Allah akan menerima.

Sebab, ada banyak kasus dimana calon pengantin baru membicarakan konsep pernikahan setelah terjadi lamaran. Sementara jarak antara lamaran menuju akad nikah berkisar antara dua hingga enam bulan. Itu tentu jarak yang terhitung pendek untuk menawarkan konsep islami kepada orang tua. Syukur alhamdulillah jika orang tua kita sudah memahami konsep pernikahan islami. Lha kalau belum, haduuuuuhhhh ...

So, selamat berdiskusi, ya! ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar