Kami adalah pasangan pengantin baru (wueeeekkkk ... padahal udah lebih dari setahun nikahnya). Yaaah ... meskipun nggak baru-baru amat, sih. Tapi, tetap aja kami merasa bahwa kami masih pengantin baru. Huhuiiii .... Ada suka duka yang kami alami selama menjadi pasangan suami istri. Ada dukanya, tapi sedikit. Sukanya, hmmm ... banyak!
Sebagai keluarga baru yang hidup mandiri jauh dari orang tua maupun mertua, kami mengelola rumah tangga kami dengan cara kami. Kami berdua menyepakati aturan yang berlaku untuk keluarga kecil kami. Tentu ini berbeda dengan sebelum kami menikah. Dulu sebelum menikah, saya memakai aturan saya sendiri. Demikian pula suami saya memakai aturannya sendiri. Tapi, setelah kami menikah, kami memiliki aturan bersama. Aturan untuk saya sebagai istri maupun aturan untuk suami saya sebagai seorang suami, qawwam dalam rumah tangga kami. Apa saja peran, tugas, maupun tanggung jawab bagi masing-masing, kami buat kesepakatan.
Dengan adanya status baru sebagai suami dan istri, aktivitas harian kami pun juga berubah. Sekarang ada kewajiban belanja, masak, bersih-bersih rumah, nyuci, maupun nyeterika. Kalau sebelum nikah kan nggak wajib alias sunah (Hihi ... emang gitu? Ngarang!) Meskipun saya bekerja di luar rumah, tapi tugas utama saya tetap sebagai istri. Yaaahh ... tugas jadi ibu RT-lah. Hehehe .... Demikian juga suami saya. Kalau dulu waktu masih lajang, setiap habis kerja suka nongkrong di kantor bareng teman-temannya, sekarang langsung pulang ke rumah begitu pekerjaan telah selesai. Nggak ada lagi acara nongkrong-nongkrong di kantor. Padahal saya nggak pernah melarang, lho. Kata suami saya, itu adalah bentuk kesadaran status sebagai suami. Huhuiii ... asyiknya suamiku! (suami sendiri ya dipuji-puji sendiri ^_^)
Suami saya adalah seorang wartawan di sebuah surat kabar nasional dengan gaji bulanan yang cukup, dalam arti gajinya tidak besar dan juga tidak kecil. Sedangkan saya bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan buku yang meskipun gajinya tidak sebesar gaji suami, tapi alhamdulillah cukup untuk membantu keuangan keluarga kecil kami. Kalau gaji kami digabungkan, alhamdulillah cukup untuk bertahan hidup di Solo. Tidak hidup berfoya-foya karena memiliki tabungan dan punya sisa uang membeludak, tapi juga nggak ngirit-ngirit banget. Di tengah-tengah aja. Bahkan kami sering nyaris kehabisan uang di hari-hari tanggal tua. Hihihihi ... mengenaskan.
Karena kami hidup mandiri, otomatis semua kebutuhan rumah tangga, kami cukupi sendiri. Mulai hal kecil sampai hal yang besar, mulai soal beli cabai sampai nyicil rumah. Nah ... ini nih yang bikin rumah tangga kami seru. Kalau udah tanggal tua dan suami saya belum gajian (soalnya tanggal gajiannya duluan suami saya ketimbang saya), trus kebetulan ada kebutuhan mendadak atau ada sesuatu yang habis dan mesti beli lagi, deg-deg sernya bikin kami tambah kompak dan solid!
Mungkin ini berbeda dengan pasangan suami istri yang tinggal di rumah orang tua atau mertua, apalagi orang tua atau mertuanya masih aktif bekerja. Mertua atau orang tua masih aktif mencari nafkah. Saat keuangan sedang cekak, padahal beras habis, bumbu dapur habis, pulsa listrik habis, sabun dan odol habis, susu habis, sabun cuci piring habis, bisa nebeng kepada orang tua. Para orang tua tentu nggak mungkin kan berdiam saja melihat orang-orang yang hidup seatap dengannya kelaparan? Apalagi itu anak, menantu, maupun cucu sendiri.
Lebih berbeda lagi keadaannya kalau semua kebutuhan kerumahtanggaan masih dicukupi oleh orang tua atau mertua. Tagihan listrik yang membayar orang tua atau mertua, tagihan air pam yang membayar orang tua atau mertua, juga termasuk kebutuhan dapur, beras, dan lain sebagainya. Semuanya masih dicukupi oleh orang tua atau mertua dimana pasangan suami istri itu ikut tinggal. Sementara pasangan suami istri cukup ikut numpang saja di rumah orang tua atau mertua tanpa harus banyak memikirkan kebutuhan rumah tangga. Gaji bulanan bisa dipakai untuk bersenang-senang atau ditabung.
Tapi, lain halnya dengan para pasangan seperti kami. Kami berdua harus berdiri di atas kaki kami sendiri dan tidak bergantung pada orang tua, mertua, apalagi orang lain jika terjadi hal-hal tersebut. Semuanya mandiri. Itulah serunya, ada seni di sana. Bagaimanapun caranya, kami harus memenuhi semua yang habis itu dengan tenaga maupun uang kami sendiri, sama sekali tidak melibatkan atau nebeng kepada orang tua. Kami juga tidak akan memberi tahu orang tua jika kami sedang kekurangan sesuatu atau sedang kehabisan uang, misalnya. Bahkan semisal duit udah bener-bener tipiiiiiiis banget, tetap tidak melibatkan orang tua. Kami selalu yakin, kalau keuangan kami tinggal sedikiiiiiit sekali, pasti akan ada jalan. Dan benar ... Allah selalu ngasih rezeki yang tidak kami duga-duga sebelumnya. Ternyata, dengan kami bertekad benar-benar hidup mandiri dan nggak nebeng pada orang tua, adaaaaaa aja rezeki dari Allah. Kami selalu takjub dengan kebesaran-Nya untuk kami berdua. Ya Allah ... ini tentu nggak lepas dan doa-doa yang dilantunkan bapak ibu maupun bapak ibu mertua untuk kami agar Allah selalu mencukupi kami.
Sejak sebelum menikah, saya dan suami bersepakat untuk tidak mengadu kepada orang tua jika kami sedang kepepet, entah secara ekonomi, musibah, atau apapun. Sebisa mungkin semua itu akan kami hadapi sendiri. Kami tidak ingin membuat orang tua kami sedih semisal mereka tahu keuangan kami tipis atau kami sedang tertimpa musibah. Kami akan memberi tahu orang tua dan keluarga jika kami memiliki kabar-kabar bahagia. Kalau kabar-kabar sedih, ooh ... sebisa mungkin jangan sampai mampir ke telinga orang tua.
Salah satunya adalah ketika dulu di awal-awal kami menikah saat Allah memberi ujian. Secara mendadak, pada hari itu juga setelah bertemu dokter, ovarium kanan saya harus diangkat karena ada endometriosis yang sudah mengalami perlukaan dan berukuran besar. Operasi tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi pemberitahuan operasi itu mendadak, harus hari itu juga karena saya sudah kesakitan luar biasa. Kami tidak memiliki persiapan sama sekali, baik persiapan mental maupun biaya. Tapi, kami sebisa mungkin tidak ingin merepotkan orang tua kami, kami tidak ingin mereka sedih. Kami tidak ingin mereka mengeluarkan uang untuk kami di saat kami sudah membentuk keluarga. Meskipun waktu itu, jujur kami tidak tahu akan mendapatkan uang dari mana untuk membayar biaya rumah sakit. Awalnya, hanya saudara-saudara suami saya saja yang diberi tahu untuk meminta doa. Tapi, mungkin bapak ibu mertua saya peka dan merasa ada suatu feeling yang janggal dengan saya dan suami. Akhirnya dengan terpaksa, mas ipar saya memberi tahu mertua saya. Bapak ibu saya pun juga awalnya tidak diberi tahu. Hanya adik saya yang diberi tahu, tapi ternyata dia keceplosan bicara.
Allah Maha Besar ... meskipun pada akhirnya orang tua maupun mertua tahu kondisi saya yang harus operasi dan membantu pembiayaan selama saya dirawat di rumah sakit, jumlahnya tidak banyak. Selebihnya kami tanggung sendiri. Begitu pula dengan bantuan dari saudara ipar saya tidak membuat kami merasa sangat memberati mereka. Huuffft ... legaaaaa sekali rasanya! Meskipun mungkin sebenarnya setiap orang tua ikhlas-ikhlas saja ya membantu anaknya yang sedang kesulitan keuangan untuk biaya perawatan di rumah sakit seperti itu? Tapi, ada semacam rasa tidak enak dan tidak nyaman kalau kami harus menerima, apalagi meminta uang kepada orang tua. Alhamdulillah ... biaya terapi selama enam bulan berturut-turut pasca operasi yang bagi saya jumlahnya tidak sedikit itu juga bisa kami tebus sendiri.
Kami betul-betul bersyukur tidak membuat orang tua mengeluarkan banyak uang untuk kami. Itu adalah anugerah besar untuk kami yang masih tertatih-tatih belajar hidup mandiri. Padahal kalau dipikir-pikir, kami akan mendapatkan uang dari mana untuk menutup pembiayaan operasi dan perawatan selama lima hari di rumah sakit swasta? Juga uang dari mana untuk biaya terapi selama enam bulan di rumah sakit itu? Jika mengandalkan gaji kami berdua, itu jelas tidak mencukupi. Apalagi selama enam bulan menjalani terapi itu, kami tetap bisa hidup wajar, dalam arti nggak ngirit-ngirit banget. Kehidupan kami masih normal, sama seperti sebelum saya operasi. Masih bisa bayar tagihan ini itu, bisa belanja kebutuhan sehari-hari. Kok bisa ya? Kami betul-betul tidak habis pikir. Allah benar-benar punya hitung-hitungan sendiri yang tidak bisa diraba oleh manusia. Allah menunjukkan jalan rezeki untuk kami. Alhamdulillah ... Allah benar-benar sayang kepada kami.
Di lain hal, yang namanya orang tua mungkin tetap memiliki kekhawatiran ya terhadap anak-anak mereka? Meskipun mereka percaya bahwa kami bisa melalui semua fase itu berdua. Kadang-kadang jika kami pulang ke rumah mertua saya, ibu mertua saya secara diam-diam menyelipkan amplop di tas atau saku jaket suami saya. Kadang ibu mertua sampai kejar-kejaran dengan suami saya agar suami saya mau menerima amplop itu. Kalau kami keukeuh nggak mau nerima, ibu mertua menangis. Laaaah ... ini nih senjata ampuh para ibu. Air mata. Yaaaa ... akhirnya ’gengsi’nya jadi turun deh kalau ibu mertua sedang menangis begitu. :-(
Selain amplop, ada lagi yang dibawakan ibu mertua untuk kami. Beras. Ya, kebetulan mertua saya memiliki sawah yang secara rutin ditanami padi. Jadilah semua saudara suami saya wajib membawa beras. Kami diminta untuk tidak membeli beras. Kata ibu mertua, ”Buat apa beli beras? Wong di rumah punya banyak beras kok beli beras. Nanti yang makan berasnya siapa?” Begitulah ... sejak menikah, kami belum pernah sekalipun membeli beras. ^_^ Hmmm ... kapan ya kami bisa benar-benar nggak membuat orang tua kami mengeluarkan uang untuk kami? Harusnya kan gantian anak-anak yang menyenangkan orang tua, membelikan orang tua ini dan itu.
Huuuffft ... hidup berumah tangga secara mandiri emang seru abis! Rasanya sangat sangat menakjubkan. So amazing, deh. Menjadikan saya dan suami kompak banget. Nuansa merah jambunya jadi makiiiin terasa (jiaaaahhh ... apaan tuh maksudnyah??!). Yaaahh ... meskipun kadang ada ngambek-ngambekannya juga, sih. Biasa ... ngambek minta perhatian lebih. Hihihi ... Mau ngambek karena apa lagi? Wong suami saya susah marah. Hehehe .... Kami juga merasa puas karena sudah mulai bisa berdiri di atas kaki sendiri. Suka duka dihadapi berdua, tangis dan tawa dinikmati berdua. Dan untuk bapak ibu, bapak ibu mertua, saudara-saudara dan keluarga, tunggulah kabar-kabar gembira dari kami. Untuk kabar-kabar gembira itu, kami pasti akan melibatkan dan membaginya. Kami tidak akan menyembunyikannya. Mari kita semua berbahagia bersama! Yeeeee ...!! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar