Selasa, 23 Agustus 2011

Lika-Liku Berdagang (Part 1)


Dagang, yuk dagang! Berdagang itu seru! Saya dan suami secara serius mulai berdagang sejak setahun yang lalu, tepatnya sejak bulan Ramadan tahun lalu. Awalnya kami berdagang mete dan emping jagung buat cemilan selama bulan Ramadan dan juga Lebaran. Dan memang usaha dagang yang kami jalani itu untuk memanfaatkan moment Ramadan dan Lebaran. Selain itu juga memanfaatkan mete dan emping jagung yang merupakan cemilan khas dari kampung suami saya. Lagian juga, mete biasanya menjadi cemilan yang diburu banyak orang untuk disajikan di atas meja pada saat hari Lebaran. Jadilah gembok ketemu sama kuncinya atau istilah Jawanya tumbu ketemu tutupe. Hehehe ….  Pas mete dan emping jagung merupakan cemilan khas dari kampung suami, pas Ramadan dan Lebaran dimana banyak orang memburu mete, dan tentunya saat itu pas kami punya duit untuk kami jadikan modal dagang. :-)
Selepas Lebaran, permintaan mete emang nggak lagi membeludak seperti ketika Ramadan dan Lebaran. Sedikit sedikit masih ada aja yang pesen mau beli mete. Tapi karena kami mesti kulakan mete ke kampung asal suami yang notabene berjarak tempuh 2 jam perjalanan dari rumah kami, kami nggak bisa selalu menyetujui permintaan pembelian mete. Kalau belinya lumayan banyak, misalnya 5 kg atau lebih, kami akan terima. Tapi kalau cuma 1/2 kg, 1 kg, atau paling pol 2 kg, dengan terpaksa kami akan menolaknya. Soalnya gimana ya, nggak nyucuk sama ongkos buat kulakannya. :-(
Sebenernya bisa aja kami beli barangnya nggak harus di Wonogiri, misalnya beli di pasar-pasar ataupun pusat oleh-oleh di Solo. Trus kami ganti mereknya dengan merek dagang kami dan selanjutnya kami paketkan ke alamat pembeli. Tapi karena kami ingin tetap mempertahankan kualitas dagangan kami agar tetap memuaskan konsumen maupun pelanggan (cieeeeee) maka kami memilih untuk menolaknya jika pembeliannya nggak banyak sekalian. Bukannya apa-apa, soalnya kami sering menemukan mete yang dijual di pasar-pasar maupun pusat oleh-oleh nggak sekriuk dan segurih mete dagangan kami. Sstttt … maap sekali lagi ya!
Selain itu, kami juga seriiiiiiing sekali nemui mete-mete yang dijual di pasar-pasar atau pusat oleh-oleh banyak yang patah, udah nggak fresh, dan bukan mete asli hasil panenan dari Wonogiri. Tapi pada label kemasannya ditulis bahwa mete itu adalah mete Wonogiri. Padahal dari melihatnya aja kami tahu bahwa mete-mete yang dijual itu umumnya adalah mete dari luar Jawa, biasanya dari Nusa Tenggara dan Sulawesi. Ciri fisik dan rasa mete luar Jawa berbeda dengan mete dari Wonogiri. Mete luar Jawa berukuran agak besar jika dibandingkan dengan mete Wonogiri. Kalau masih mentah (belum digoreng), mete luar Jawa berwarna agak putih, bukan krem. Kalau digigit, mete luar Jawa nggak terlalu kriuk. Sementara mete Wonogiri begitu digigit terasa kriuknya. Selain itu, mete Wonogiri memiliki rasa khas agak manis. Itu rasa khas dari sononya. Rasa gurih dan agak manis-manis di mulut bukan karena sebelum digoreng, metenya dikasih tambahan gula sebagai bumbu. Tapi emang itu adalah rasa original dari mete Wonogiri (jiaaaahhhh … kayaknya saya cocok nih jadi humasnya mete Wonogiri, hehe …). Itulah kenapa harga mete luar Jawa lebih murah daripada mete Wonogiri.
Banyak yang mengira bahwa kami selalu ready stok. Jadi mau pesen mete berapa aja dan kapan aja, bisa langsung oke. Padahal nggak gitu. Kami kerja sama dengan salah satu produsen mete di kampung suami saya. Kami nggak punya toko dan juga nggak nggoreng mete sendiri. Kami hanya menjualkan barang hasil produksi dari produsen tersebut. Toko yang kami miliki hanyalah toko online. Jadi, kalau ada yang tiba-tiba mengirim SMS atau telepon atau pesen lewat facebook, kami nggak langsung bilang oke. Kami tanya dulu berapa kilo yang mau dibeli. Kalau banyak, kami akan setujui. Kalau sedikit, ya terpaksa kami tolak. Kan nggak nutup banget kalau kami nerima order 1 kg tapi kami harus kulakan ke kampung yang berjarak tempuh 2 jam perjalanan. Uang bensin, waktu, dan juga tenaga, nggak cocok sama untung yang bakal didapat dari menjual 1 kg mete.
Kami pun memutuskan nggak selalu nyetok mete di rumah. Karena selain bulan Ramadan dan Lebaran, sedikit orang yang membeli mete. Kalau kami nyetok tapi akhirnya nggak laku, kan mubadzir. Udah keluar duit buat kulakan, dagangannya pun apek karena nggak ada yang beli. Kalau masih di bawah 1 bulan dari waktu kulakan sih nggak apa-apa, metenya masih kriuk dan gurih. Tapi kalau udah lebih dari sebulan tapi nggak kejual, metenya bakalan mulai apek. Mana ada yang mau membeli mete apek? Hehehe ….
Karena mete dan juga emping jagungnya hanya banyak laku kalau Ramadan dan Lebaran, makanya setelah Lebaran, kami berdagang yang lain. Obat-obatan herbal, macem-macem yang dijual. Buat sambilan, buat nambah kesibukan, juga nambah rezeki. Soalnya kan sayang kalau nggak punya kerjaan sambilan buat nambah penghasilan. Hehehe … Sebenernya kami berniat dan berdoa ini bukan cuma sambilan, tapi yang kami rintis ini nanti setahap demi setahap berkembang menjadi bisnis besar. Amin ya rabbal’alamin …. Biar kami bisa mengajak orang-orang untuk bekerja bersama kami. Semoga Allah mengabulkan. Amiiiiin … :-)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar