Minggu, 01 April 2012

Cerita Persalinan Pertamaku (Part 1)


Senin pagi itu, langit masih agak mendung. Pukul 6 pagi, semuanya sudah siap. Saya, suami, dan ibu saya sudah sarapan semua. Sejak seminggu sebelumnya, ibu menginap di rumah saya. Jadilah, rumah mungil kami tak hanya dihuni oleh dua orang saja, saya dan suami, melainkan ada ibu saya yang jauh-jauh datang untuk menemani saya. Tepatnya bukan saya saja yang ditemani, tapi juga calon cucunya yang saat itu sebentar lagi akan lahir.
Setelah melalui berbagai ikhtiar, ternyata bayi saja belum lahir juga meskipun sudah melampaui HPL. Saya belum merasakan kontraksi. Dan sesuai petunjuk dokter kandungan saya pada pemeriksaan sebelum-sebelumnya, pada tanggal itu saya diminta untuk cek ke rumah sakit. Jika sampai hari itu tetap tidak ada perkembangan, mau tak mau, hari itu saya harus menjalani operasi caesar.
Senin pagi itu, tanggal 30 Januari 2012 itu, pagi-pagi setelah sarapan, kami bertiga pergi ke rumah sakit. Ibu menemani saya naik taksi. Sementara itu, suami saya naik sepeda motor. Kalau dipikir-pikir, agak ribet. Kenapa nggak sekalian semuanya naik taksi? Tapi, mengingat ada banyak pertimbangan, suami saya memang harus membawa sepeda motor. Daripada nanti harus repot karena harus wira-wiri, lebih baik membawa sepeda motor saja.
Di rumah sakit, oleh petugas Satpam yang melihat kami agak ribet dengan barang bawaan kami yang banyak, kami diarahkan untuk menuju pintu UGD. Saat itu, dari taksi, kami memang turun di pintu utama, bukan pintu UGD. Dan sepertinya si Pak Satpam tahu kalau saya dan ibu saya sedang kebingungan harus masuk ke pintu yang mana.
Setelah proses adiminstasi diselesaikan oleh suami, saya dan suami masuk ke ruang UGD untuk dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan juga berat badan. Karena saat itu saya belum merasakan kontraksi, padahal usia kandungan saya sudah 7 hari melebihi dari HPL, saya diarahkan masuk ruang bersalin untuk dilakukan observasi sembari menunggu dokter kandungan saya datang.
Saya diminta berbaring tenang di ranjang ruang bersalin dan menjalani berbagai pemeriksaan oleh bidan dan juga dokter kandungan saya. Sebenarnya saya sedang berusaha menenangkan diri saya sendiri, karena sebenarnya pikiran dan perasaan saya sama sekali tidak tenang. Dag dig dug rasanya apakah saya tetap bisa melahirkan normal seperti yang saya inginkan ataukah caesar. Rasa dag dig dug itu semakin menjadi-jadi setelah beberapa saat kemudian, satu per satu bed di ruang bersalin itu diisi oleh ibu-ibu yang juga akan melahirkan. Ditambah lagi, para ibu-ibu ini mulai merintih-rintih kesakitan. Bahkan ada dua ibu-ibu yang sampai teriak-teriak kencang karena menahan sakit.
Setiap kali ibu-ibu di kamar sebelah merintih-rintih kesakitan atau teriak-teriak kesakitan, suami saya meremas kedua telapak tangan saya kuat-kuat. Saya tahu, dia pasti berpikir bahwa sebentar lagi, saya juga akan mengalami apa yang dialami oleh ibu-ibu di kamar sebelah. Dan dia tidak tega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar