Minggu, 27 Februari 2011

Bekas Amukan Lahar Dingin di Kali Kuning

Ini adalah jalan-jalan yang nggak menyenangkan. Jalan-jalan yang gagal. Hhh … tapi buat kenang-kenangan, ya udahlah ditulis aja. Weekend kemarin saya dan suami pulang ke Jogja, ke rumah orang tua saya di Kulonprogo. Sebenernya itu adalah keputusan mendadak, soalnya baru diputuskan malem Sabtu. Awalnya kami berencana pulang ke Jogja Sabtu besok. Tapi, karena weekend kemarin nggak ada agenda penting dan daripada di rumah aja, kami memilih untuk ke Jogja.

Sejak dulu habis Gunung Merapi meletus, saya ngajak suami saya ke Kinahrejo, pedukuhan tempat tinggalnya Mbah Marijan. ^_^ Tapi, rencana buat ke sana gagal terus. Makanya sejak jauh-jauh hari, kalau pekan-pekan ini ke Jogja lagi, kami akan ke Kinahrejo dulu. Jadilah perjalanan mendadak ke Jogja kemarin, kami mengagendakan mampir ke lereng Gunung Merapi.

Sejak masih di rumah, suami saya ragu-ragu. Soalnya langit mendung. Menurut suami saya, nanti sampai di Jogja pasti langitnya tetep mendung dan bahkan bisa jadi hujan. Tapi, saya keukeuh tetep ngajak ke sana.

Kami berangkat dari Solo jam 9.30 pagi, setelah sarapan dulu. Hmm … itu kesiangan. Soalnya sejak kami memutuskan ke Jogja dan mampir ke Kinahrejo, kami udah sepakat bahwa kami akan berangkat jam 6.30 pagi. Biar di jalan nggak kepanasan, gitu. Tapi, apalah daya … malem Sabtu suami saya nglembur kerjaan di kantor dan baru pulang jam 12 malem. Sesampainya di rumah, seperti biasa, suami saya nggak bisa langsung tidur. Suami saya baru tidur jam 2 dinihari. Akibatnya, sehabis subuh, balik tidur lagi, deh. Dibangunin juga nggak bangun-bangun. ^_^

Kami berkendara santai. Wong nggak ada sesuatu yang kami kejar. Sesampainya di Prambanan, langit mulai mendung, bahkan turun hujan turun rintik-rintik. Padahal ketika kami memasuki Klaten, langit terlihat lumayan cerah. Yaaahh … alamat nggak jadi ke Kinahrejo, nih! Tapi, ternyata gerimis kecil-kecilnya cuma bentar. Asyiiikkk!!!

Sehabis daerah Bogem, kami belok ke arah utara lewat jalan alternatif ke Kaliurang. (Ngomongin soal daerah Bogem, saya suka dengan banyaknya pohon-pohon gede di tengah-tengah Jalan Jogja-Solo. Bikin berkendara di daerah itu serasa adeeeemmm. Nggak panas!) Jalannya asyik, banyak sawah menghijau di kanan kiri. Pepohonan lainnya pun juga menghijau di kanan kiri. Pikiran jadi syegeerr, deh, lihat yang hijau-hijau. Jalannya nggak lebar, lumayan sering berbelok-belok. Kendaraan yang berlalu-lalang nggak banyak. Jadinya kami bisa tetep nyantai. Makin ke utara, hawa sejuk mulai terasa. Hmm … ini tandanya kami udah mulai naik menuju lereng gunung. Soalnya jalanan juga udah mulai menanjak meskipun tanjakannya nggak tajam.

Nggak lama kemudian, kami melihat plakat yang menandakan bahwa kami udah sampai di Argomulyo. Hmm … artinya nggak lama lagi nyampai Kaliurang, nih. Sesampainya di daerah Pakem, kami sampai di daerah evakuasi penduduk lereng Merapi. Kompleks hunian sementara alias Huntara yang berdinding kayu dan anyaman bambu serta beratap seng kami lihat ada di sisi kiri jalan. Juga di daerah Pakem, kami berpapasan dengan iring-iringan rombongan menteri. Kalau dilihat dari plat nomer mobilnya, kayaknya sih mobil dinas Menteri Sosial. Hehehe … sok teu! :-)

Dan … ternyata emang nggak lama kemudian kami nyampai di traffic lights nggak jauh dari Polsek Pakem. Yippi … akhirnya nyampai juga di jalan utama, Jalan Kaliurang. Kami ngambil arah kanan menuju Kaliurang. Kira-kira lima kilometer kemudian kami udah sampai di wilayah Desa Hargobinangun Kecamatan Cangkringan. Beberapa saat kemudian, kami melihat tulisan Padang Golf Merapi pada plakat penunjuk arah berwarna hijau yang ada di pinggir kanan jalan. Kami pun berbelok ke kanan mengikuti jalan beraspal yang lumayan kecil. Jalan beraspal yang lumayan kecil ini bukan lagi Jalan Kaliurang, tapi sempalannya. Hehehe ...

Sekitar dua kilometer kemudian setelah dua atau tiga kali melalui jalan berkelok, kami sampai di dam yang melintas di atas Kali Kuning. Letak dam itu kira-kira 13 km dari puncak Merapi. Dam ini merupakan penghubung antara Desa Hargobinangun dan Desa Umbulharjo, juga dengan Desa Kepuharjo dan Desa Glagaharjo. Kinahrejo masuk wilayah Desa Umbulharjo. Katanya, sih merupakan satu-satunya penghubung. Syereeemmm …! Gimana kalau damnya jebol? Padahal itu adalah satu-satunya penghubung. Semoga aja nggak akan jebol. Amin …

Material vulkanik tampak menumpuk di sisi utara dam. Batu-batu besar, pasir, kayu dan batang-batang pohon, semua bertumpuk jadi satu. Bekas terjangan lahar dingin masih kelihatan banget. Aliran sungai yang mungkin tadinya nggak begitu luas, sekarang jadi luaaaasss banget. Tanah di kanan dan kiri sungai terkikis aliran lahar dingin. Kalau nggak ada dam itu, mungkin batu-batu besar, pasir, dan juga pohon-pohon itu ikut mengalir semuanya.  Besi-besi di pinggir damnya aja udah hilang tersapu lahar dingin sepanjang sekitar 20 meter. Itu jadi pertanda betapa dahsyatnya aliran lahar dingin.

Pas kami sampai sana, ternyata banyak juga orang-orang yang berhenti buat melihat kondisi sungai dan dam. Nggak sedikit pula orang-orang yang jeprat-jepret ambil foto berlatar dam dan sungainya. Termasuk saya dan suami saya, hehehe … Mobil-mobil maupun kendaraan roda dua terlihat berlalu lalang di atas dam.

Baru beberapa menit di sana (mungkin baru sekitar 10 menit), ternyata udah sekitar jam setengah 12 siang. Udara terasa sejuk meskipun tengah hari. Langit terlihat mendung. Suami saya bilang mending nggak usah naik ke Kinahrejo. Soalnya udah siang dan langit mendung. Takut kalau ntar hujan dan ada banjir lahar dingin lagi. Saya tetep ngotot pengen naik ke atas. Tapi suami saya juga tetep ngotot ngajak pulang. Hhh … ya udah, deh, akhirnya kami pun pulang dengan hati saya yang dongkol dan mangkel. Bener-bener nggak asyik! Sesampainya kami di Pakem, langit cerah dan bahkan panas. Nggak ada hujan sama sekali, bahkan ketika kami sampai rumah orang tua saya. Hhhh … batal lagi … batal lagi. :-(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar