Selasa, 01 Februari 2011

Jejak Lahar Dingin Muntilan

Wajah Kampung Jumoyo yang terkubur pasir dan batu
Libur tlah tiba … libur tlah tiba … huraiii … huraiii … huraaaii !! Nyanyi-nyanyi terus deh bawaannya. Happy-nya hati ini, kikikikikik … Asyik bener deh akhirnya weekend dateng juga. Weekend kemarin sangat saya tunggu-tunggu. Kenapa? Soalnya, ini adalah saatnya mudik ke rumah orang tua saya di Jogja, tepatnya di Kulonprogo. Saya mudik ke rumah orang tua saya setiap sebulan sekali. Begitu juga mudik ke rumah mertua saya di Wonogiri juga sebulan sekali. Hehehe… biar adil gitu, lho! Maunya sih mudiknya sesering mungkin, seminggu sekali atau dua minggu sekali gitu. Tapi gimana, kerjaan suami saya kadang suka padet pas weekend. Jadilah jadwal kami mudik ke rumah orang tua setiap sebulan sekali.

Nah, saat liburan weekend kemarin, saya nggak cuma mau mudik aja sebenernya. Saya dan suami juga mau sambil jalan-jalan ke daerah Jumoyo, Salam, Muntilan, Magelang. Itu lho, daerah yang luluh lantak hancur terkena muntahan lahan dingin dari Gunung Merapi. Kan kalau mau pulang ke Kulonprogo, jaraknya lumayan deket. Jadinya kami nggak harus ngalang (aduuuhhh … ngalang itu bahasa Indonesianya apa, ya?)

Makanya, sejak jauh-jauh hari atau tepatnya saat kali pertama banjir lahar dingin menerjang Muntilan sekitar sebulan lalu, saya udah merengek-rengek sama suami saya kalau pas mudik ke Jogja, kami mampir dulu lihat kondisi Muntilan (beeuuuuhhh … manja banget, sih!)

Alhamdulillah, tanpa harus merengek-rengek panjang lebar, suami saya langsung hayuuuuukkk aja! Soalnya suami saya juga pengen tahu kondisi di sana. Semoga ini bukan berwisata di tempat bencana, ya? Soalnya kami tidak berniat seperti itu. Hanya ingin tahu seperti apa kondisi daerah saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah.

Kami berangkat dari rumah Kartasura sekitar pukul 08.00 dengan mengendarai sepeda motor. Sengaja berangkat agak pagi biar di jalan nggak kepanasan banget gitu. Ternyata nggak memakan waktu lama juga sebenernya sampai di Muntilan. Sekitar pukul 9.30 pagi, kami sudah sampai di perbatasan Provinsi DIY dan Jawa Tengah. Suasana jalanan di akhir pekan, lumayan ramai. Setelah berkendara sekitar 10 menit dari perbatasan atau mungkin sekitar 5 km dari perbatasan, kondisi jalan yang menghubungkan jalur Yogyakarta-Magelang-Semarang itu mulai macet. Hmmm … mesti berzig-zag deh kami. Truk, mobil, bus-bus besar, sepeda motor, semua tumplek blek di jalur utama dua arah itu. Kendaraan-kendaraan yang berjalan dari arah Yogyakarta sama macet dan ngantrinya seperti kendaraan-kendaraan yang berjalan dari arah Magelang/Semarang.

Awalnya, karena capek mbonceng, saya minta gantian dengan suami nyetir motor. Tapi begitu sampai jalanan yang macet kayak gitu, nyerah deh. Akhirnya saya pilih menyerahkan komando nyetir lagi kepada suami. Ribet banget soalnya mesti motoran di jalanan macet kayak gitu. Dijamin deh kalau saya yang tetep nyetir, lama banget jalannya. Beda dengan suami saya yang bisa ngambil celah jalan. Hehehe … ya iya lah … cowok gitu, loh.

Setelah berzig-zag sekitar 10 menitan, sampailah kami di titik utama jalur lahar dingin yang mengamuk rumah-rumah warga di kanan dan kiri jalan itu, tepatnya Jl. Yogyakarta-Magelang KM 23.

Masya Allah … timbunan pasir di mana-mana. Di kiri kanan jalan, timbunan pasir menggunung sekitar 2 meter. Mungkin ada sekitar 200 meter gundukan pasir yang di kiri kanan jalan. Jembatan Kali Putih yang membelah ruas jalan utama itu juga terlihat rusak. Sisi sebelah timur jembatan, ambrol sebagian. Bagian pinggiran jembatan udah hilang ikut terbawa amukan lahar dingin.
Timbunan pasir di pinggir Jalan Yogyakarta-Magelang
Serem banget bekasnya. Pasir di mana-mana. Banyak rumah yang hilang akibat terseret banjir lahar dingin. Nggak cuma itu, rumah-rumah juga pada hancur setelah tertimbun pasir dan juga batu berukuran raksasa. Masya Allah … saya nggak bisa membayangkan seperti apa dahsyatnya banjir lahar dingin yang menerjang daerah Jumoyo sampai-sampai puluhan rumah rusak dan bahkan raib dan diganti dengan lautan pasir yang mengubur perkampungan.


 Rumah-rumah banyak yang terkubur pasir sampai atap, bahkan banyak banget rumah yang hilang karena tersapu lahar dingin

Pemandangan yang bikin hati saya dan suami sedih. Tak sedikit saya jumpai papan-papan kayu yang dipaku pada patok bertuliskan semisal “Ini bekas rumah Pak Suharto. Mohon bantuan seikhlasnya”. Patok-patok itu ditancapkan pada pasir yang mungkin awalnya adalah bekas rumah warga yang disebut namanya dalam papan kayu tersebut.

Pemandangan menyedihkan lainnya adalah rumah-rumah yang hanya tinggal terlihat atapnya atau sebagian kecil bagian atas rumah atau bahkan hanya tinggal kerangka rumah. Mungkin pasir yang mengukur kampung tersebut sekitar 3 meter. Sebuah bekas ruko yang ada di sisi selatan jalan besar itu juga terlihat nyaris ambrol. Bagian bawah ruko yang ada di sisi barat sudah tergerus air. Rukonya jadi kayak menggantung sebagian.
Nampang di depan aliran sungai baru di sebelah timur Sungai Putih
Nggak cuma itu, di tengah-tengah kampung itu ada sebuah pohon besar. Bagian bawah pohon yang tidak ikut tumbang terkena amukan lahar dingin itu, terlihat jelas bekas gesekan batu ataupun material lainnya. Sampai-sampai bagian bawah batang pohonnya terkikis hampir setengahnya.

Saat kemarin saya ke sana, banyak juga truk yang mengangkut pasir ada di sana. Para penambang pasir kayaknya lagi berpesta karena tumpukan pasir ada di mana-mana. Beberapa back hoe juga terlihat mengeruk pasir untuk menormalisasi aliran Sungai Putih. Para pencari batu hitam juga banyak terdapat di sana. Mereka asyik banget memecah batu-batu hitam itu menjadi lebih kecil. Kayu-kayu yang terbawa banjir juga masih terlihat di sana-sini.

Kampung Jumoyo tertimbun batu dan pasir
Dari semua pemandangan yang kami lihat, cukup memperlihatkan kepada kami betapa dahsyatnya banjir yang melanda. Kata-kata kami juga tak cukup untuk melukiskan gimana hancurnya daerah itu. Puluhan rumah terkubur pasir dan batu. Nggak bisa membayangkan kalau banjir lahar dingin masih akan mengamuk. Orang-orang sudah pasrah dan akan terus pasrah. Gimana nggak, rumah sudah hancur lebur gitu, tentu aja nggak bisa ditempatin lagi.

Semoga saudara-saudara kita di sana tetap tabah dan Allah segera ngasih jalan keluar. Kita yang nggak mengalami bencana itu hanya bisa mendoakan mereka dan menyisihkan dari harta yang kita miliki untuk membantu mereka.

"Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. al-Baqarah: 155)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar