Selasa, 01 Februari 2011

Pesona Kaki Merapi

Sebenernya cerita jalan-jalan ini udah agak lama, bulan Desember 2010 lalu. Jadinya udah agak-agak lupa gitu. Tapi kok rasanya sayang kalau nggak ditulis. Biar inget gitu apa aja yang dulu saya temuin pas ke sana. Sayangnya, waktu itu saya dan suami saya nggak bawa kamera. Jadinya nggak ada fotonya, deh. ^_^ Mungkin lain kali saya ajak suami saya ke sana lagi dan bawa kamera buat motret-motret.
Padahal pas nyampe sana, wuiiiihhhh … subhanallah … indah banget pemandangannya. Allah emang Maha Besar. Waktu itu pengeeeeeenn banget motret-motret. Tapi, apalah daya kami nggak bawa kamera. Gigit jari deh akhirnya. Kesel rasanya! :-(


Oh ya, sampai lupa bilang ini ceritanya soal apaan. Ini adalah cerita soal Selo, sebuah daerah yang terletak di pegunungan, atau tepatnya di sela-sela antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Selo adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah yang sisi sebelah baratnya berbatasan dengan Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Karena letaknya di antara gunung, jadinya daerah ini berudara suejuuuukkkk banget! ^_^ Selo berjarak sekitar 5 km dari puncak Merapi. Jadi ya pantes aja kalau hawanya brrrrrr … sampai menusuk tulang.

Menurut Wikipedia, Selo terletak di kaki Gunung Merapi sebelah timur. Para pendaki gunung memulai pendakian ke Gunung Merapi atau Merbabu melalui daerah ini. Karena letaknya di antara dua gunung dimana Gunung Merapi tercatat sebagai salah satu gunung berapi teraktif di dunia, maka Selo rentan terhadap bahaya letusan. Selo terdiri dari 10 desa, dimana kemarin saat Gunung Merapi meletus, beberapa desa di antaranya terkena dampak lumayan parah terkena sapuan awan panas dan guyuran pasir serta abu vulkanik. Bahkan salah satu desa, yaitu Tlogolele terisolasi karena dam yang menghubungkan desa itu dengan desa lain, ambrol terkena aliran lahar dingin Merapi. :-(

Di Selo terdapat banyak lahan pertanian sayuran, terutama kobis atau kol. Tak hanya itu, penduduk Selo juga menanam sayuran lain, seperti kentang, wortel, bawang merah, bawang putih, loncang, seledri, jipang, dan lain sebagainya. Tanaman tembakau juga ada di lahan-lahan pertanian di daerah Selo. Warga Selo pun juga banyak yang beternak sapi perah.

Saya dan suami saya berangkat dari rumah pada hari Minggu, mumpung pas saya libur. Tapi, suami saya pas nggak libur. Soalnya Minggu sore harus masuk kerja. Maklum, jadi buruh yang waktu liburnya nggak pasti. Jadinya hari Minggu nggak libur, deh. Liburnya malah Sabtu, soalnya dapet jatah liburnya hari Sabtu untuk setiap minggunya.

Kami berangkat dari rumah jam 9 pagi dengan sepeda motor ke arah barat menyusuri jalan utama Solo-Semarang. Sesampainya di Boyolali Kota, kami berbelok ke kiri ke jalan menuju Selo. Setelah melalui perjalanan menanjak dan berkelok-kelok saat memasuki Kecamatan Cepogo (kecamatan sebelum Selo), akhirnya kami sampai juga di pusatnya Kecamatan Selo sekitar pukul 9.45 pagi. Waaahh … kalau dihitung-hitung, cepet juga ya perjalanannya? Cuma 45 menit aja. Itu di luar perkiraan saya. Soalnya, saya pikir, paling tidak butuh waktu satu jam untuk sampai ke Selo. Padahal suami saya nggak ngebut. Kami berkendara santai sambil menikmati pemadangan alam. Ternyata malah lebih cepet ke Selo daripada kami ke Tawangmangu di lereng Gunung Lawu yang memakan waktu sekitar 1,5 jam.

Sesampainya di depan lapangan Selo, suami saya mengajak untuk naik menanjak ke kawasan Newselo. Dari kejauhan, tulisan NEWSELO terlihat jelas bertengger di lereng Merapi. Kayak tulisan HOLLYWOOD gitu yang ada di Amerika sana. Cat tulisannya juga putih. Cuma ukurannya lebih kecil. Kayaknya, sih … orang saya juga belum pernah ke luar negeri, apalagi ke Amerika. Hehehe … ^_^ Mungkin ide pembuatan tulisan dan dipasang di lereng gunung itu meniru kayak Hollywood kali, ya? Biar jadi keren juga, gitu. Hihihi …

Dari lapangan Selo, kami memacu kendaraan ke arah barat. Sekitar 2 km kemudian, di sisi kiri jalan ada jalan menuju arah tulisan Newselo. Di deket jalan itu ada gedung pusat informasi bagi wisatawan. Masya Allah … jalannya ngeri banget. Jalannya nggak terlalu lebar, tapi menanjak dan terus menanjak tinggi. Saya sempet bertanya-tanya, kira-kira kami bakal nyampai di tulisan Newselo itu nggak, ya? Soalnya tinggiiiiii banget. Kira-kira sepeda motor kami kuat nggak ya buat nyampai atas sana?

Meskipun jalannya nggak lebar, tapi ternyata banyak juga kendaraan yang berlalu-lalang. Nggak cuma sepeda motor, mobil pun juga ikut berlalu-lalang di jalan itu. Kami sempat melihat ada mobil yang berserempetan dengan sepeda motor di jalanan menanjak. Syukurlah nggak ada korban luka parah, hanya lecet-lecet aja. Setelah berusaha sekuat tenaga, ternyata motor kami nggak bisa nyampai di tulisan Newselo itu. Soalnya, makin ke sana, tanjakannya makin tinggiiiii. Hhhffftt … agak kecewa, deh! :-( Tapi, nggak apa-apa, deh. Daripada maksa, ntar malah nggak bisa pulang gara-gara motornya ngambek nggak mau jalan. Kami akhirnya berhenti sekitar 300 meter di bawah tulisan Newselo dan masuk ke area tower milik salah satu provider seluler.

Subhanallah … ternyata setelah sampai sini, udara di pusat Selo di bawah tadi nggak ada apa-apanya. Dingiiiiiinnnn sekali di sini. Mana saat itu anginnya lumayan gede. Dan lagi, sepertinya di puncak Merapi sedang terjadi hujan. Makanya, di tempat kami berada waktu itu juga hujan meskipun cuma gerimis kecil-kecil. Suara angin yang mendesau-desau terdengar begitu jelas. Suara hujan juga terdengar sangat jelas. Nggak bisa membayangkan deh gimana suara gemuruh waktu Gunung Merapi bergejolak. Pasti ngeri banget.

Menurut beberapa petani sayur yang kami temui, dari puncak Merapi, tempat kami berdiri berjarak sekitar 3,5 km. Ohhh … pantesan! Udaranya begitu menggigit. Di sekitar tempat kami berhenti, masih terlihat jelas pohon-pohon cemara yang batangnya tumbang karena terkena sapuan awan panas. Abu vulkanik pun juga masih tebal di dedaunan, batang-batang pohon, maupun di atas permukaan tanah. Tapi mungkin karena daerah situ sering terjadi hujan lokal, jadi abu vulkaniknya pada nempel.

Kata Pak Tani dan Bu Tani yang kami ajak ngobrol, banyak tanaman sayuran gagal panen gara-gara terkena abu vulkanik. Hanya tanaman loncang atau daun bawang aja yang mampu bertahan. Sementara tanaman sayuran lainnya membusuk. Menurut mereka, abu vulkanik pada letusan Merapi Oktober-November 2010 kemarin lebih lengket daripada abu vulkanik saat Merapi meletus pada tahun 2006 lalu. Akibatnya, abu vulkanik menempel pada apapun yang dilewati dan menyebabkan tanaman sayur membusuk. Kasihan ya para petani sayuran di sana? Mereka menderita kerugian besar. Saat kami ke sana, para petani sedang memulai untuk menanami kembali ladang-ladang mereka. Ada yang sedang mencangkul, ada pula yang sedang menebar dan menanam benih sayuran. Ada tomat, wortel, bawang merah, juga bawang putih.

Karena udara di sana dingin banget, suami saya ngajak turun. Suami saya nggak kuat nahan dingin. Soalnya waktu itu suami saya pakai jaket jins, jadinya nggak bikin badan anget. Saya bilang sama suami saya, “Hebat banget ya para petani itu? Di tengah udara dingin seperti ini, mereka tetap merasa nggak terlalu kedinginan meskipun dengan pakaian yang nggak terlalu tebal.” Saya nggak bisa membayangkan gimana dinginnya air di sana. Pasti brrrrrrrr, deh! Saya juga nggak membayangkan gimana dinginnya udara di sana pas malam hari. Pasti brrrrrrr juga! Berapa lapis selimut tebal ya yang mereka pakai biar bisa menahan hawa dingin yang menusuk seperti itu? Jari-jari saya aja waktu itu berasa kaku karena saking dinginnya udara di sana. (Pengen tauuuuuuuuuu ajah! ^_^)

Subhanallah … mereka telah ditempa sedemikian rupa oleh alam. Alam mengajarkan bagaimana bertahan di tempat seperti itu dengan dinginnya udara maupun juga daerah pegunungan seperti itu. Saat kami turun, saya melihat beberapa wanita sedang mencuci baju. Saya langsung merinding sendiri. Apa nggak dingin ya para ibu-ibu itu? Padahal mereka berpakaian biasa alias nggak pakai jaket atau baju hangat lainnya. Ya udah, kayak ibu-ibu di desa di dataran rendah kalau lagi mencuci. Hmmm … hebat betul daya tahan tubuh mereka. Udaranya dingin menggigit, airnya juga pasti dingin, tapi mereka tetap asyik mencuci. Semoga Allah terus menguatkan mereka agar tetap bisa bertahan. Dan semoga pula mereka tidak mengalami bencana lagi. Amin ….

Sesampainya kami di jalan besar, suami saya mengajak untuk jalan-jalan sampai di perbatasan Boyolali dan Magelang. Akhirnya, kami pun belok ke kiri atau ke arah barat menuju arah Magelang. Masya Allah … pemandangannya begitu indah. Sama dengan indahnya pemandangan yang kami lihat sejak kami sampai di kawasan Cepogo. Perbukitan membentang. Sawah-sawah berjajar di lereng gunung. Masya Allah … apa para petaninya nggak takut jatuh tergelincir ya kalau lahan pertaniannya miring kayak gitu? Bahkan lahan-lahan pertanian itu sampai atas sana, mungkin tinggal dua atau tiga kilometer aja dari puncak Merapi. Bener-bener terpencil, jauh dari pemukiman penduduk. Saya sampai geleng-geleng kepala dan berkali-kali memuji asma-NYA saat melihat keindahan lereng Merapi dan Merbabu. Lukisan alam yang sangat sangat indah!

Setelah berkendara sekitar 30 menit di jalanan berkelok-kelok dan terus menurun, kami belum nyampai-nyampai juga di perbatasan. Jalanan dari Selo ke arah Magelang ini nggak selebar dan sehalus jalanan dari arah Boyolali ke Selo. Jalannya tetap aspal, sih. Tapi aspalnya nggak sehalus yang dari arah Boyolali. Entahlah … mungkin pemerintah sana memang lebih mengutamakan akses jalanan dari arah Boyolali dan bukan yang dari arah Magelang.

Suami saya sempet putus asa, nyaris nggak jadi meneruskan perjalanan sampai di perbatasan. Tapi saya masih semangat. Saya bilang ke suami saya, mending bertanya ke orang, kira-kira masih seberapa jauh perbatasannya. Setelah bertanya ke penduduk lokal, kami dikasih ancer-ancer sekitar 10 menit lagi akan sampai di perbatasan. Dan benar, sekitar 10 menit kemudian, gerbang perbatasan wilayah sudah terlihat. Kami pun melewati gerbang perbatasan Boyolali dan Magelang. Huraaaiii … akhirnya sampai juga di wilayah Magelang, tepatnya di Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang! Suami saya menghentikan sepeda motor sekitar 100 meter dari gerbang perbatasan. Setelah berhenti sekitar 15 menit untuk menikmati alam, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Selo. Naik lagi deh jalanannya.

Ternyata perjalanan kembali ke Selo tidak selama seperti saat ke arah Magelang. Pelan-pelan udara dingin mulai terasa begitu kami mendekati Selo. Soalnya pas tadi di Sawangan, udaranya tidak sesejuk di Selo. Setelah sampai Selo, kami mencari warung yang menjual jadah bakar. Rasanya belum ke Selo kalau belum makan jadah bakar, jajanan khas di daerah pegunungan seperti Selo. Kami membeli jadah bakar untuk kami bawa pulang. Tapi, baru mau turun gunung, suami saya tertarik untuk makan jadah bakar di pinggir jalan sambil menikmati alam pegunungan. Akhirnya kamipun berhenti di pinggir jalan menikmati jadah bakar dengan serundeng manisnya. Hmmm … yummiiii …!! Emang dasar lagi laper kali, ya? Enak banget deh jadahnya. Tak terasa kami udah lumayan lama duduk-duduk di pinggir jalan. Dan kami pun memutuskan untuk pulaaaangggg! Alhamdulillah … perjalanan yang menyenangkan! Masih bisa melihat dan mensyukuri keindahan alam-NYA. ^_^

2 komentar:

  1. Assalamualaikum...
    mbk ama..kita bertemu di Blog...hihihi..ak follow ya...
    siwi tisanders :D

    BalasHapus
  2. Wa'alaikumsalam ....
    Halo, Siwi .... iya, ya? Seneng, deh rasanya ketemu juga di sini. Pa kabar, dek?

    BalasHapus