Bulan depan, aku dan suamiku masuk usia satu tahun pernikahan kami. Sejak aku dan suamiku mengikat janji suci pernikahan, entah sudah berapa kali Allah memberikan ujian kesehatan untukku. Tak hanya ujian untukku, tapi juga untuk suamiku tercinta. Tentu tak ada bayangan dalam benak suamiku ketika dulu meminangku bahwa aku akan mengalami ujian ini. Demikian pula aku juga tak mengira akan diberi ujian ini.
Suamiku, lelaki yang telah menikahiku pada 28 Maret 2010 lalu inilah yang sangat sangat setia di sampingku ketika aku terbaring sakit. Suamiku pula yang sangat siaga menjaga, merawat dan mengantarkan kemanapun aku pergi (karena kami memang hidup jauh dari orang tua, jadi apa-apa serba berdua). Romantisme .... :)
Ujian pertama datang pada pekan ketiga pernikahan kami. Secara tiba-tiba, pada suatu Jumat pagi, rasa sakit luar biasa menyerang perutku bagian kanan. Saking sakitnya, aku hampir tak bisa menahannya. Kedua tangan, kaki dan perutku kram. Kepala juga secara tiba-tiba diserang rasa pusing yang teramat sangat. Rasa mualpun juga tiba-tiba menyeruak. Aku hanya bisa menangis menahan sakit. Sementara suamiku sangat panik dan gugup melihat wajahku (yang katanya) pucat pasi.
Dalam keadaan panik karena aku terus menangis, suamiku membawaku ke rumah sakit. Setiba di UGD dan aku menjalani USG, betapa terkejutnya kami berdua. Dokter mengatakan bahwa di rahimku terdapat kista yang sudah berukuran besar sehingga saat itu juga harus dilakukan operasi pengangkatan. Menurut dokter, rasa sakit luar biasa yang kurasakan itu karena benjolan-benjolan pada kista yang sudah berukuran besar itu saling memelintir satu sama lain. Jadi, satu-satunya jalan adalah operasi.
Mendengar kata kista, rahim dan operasi, suamiku sangat panik. Kami berdua saling berpegangan tangan, menangis dan berdoa. Entah berapa lama dan berapa kali suamiku kemudian berkonsultasi dengan dokter mengenai penyakitku itu. Apakah rahimku akan diangkat atau tidak dan apakah aku bisa hamil atau tidak. Dari penjelasan dokter yang kemudian oleh suamiku disampaikan padaku, dokter takkan mengangkat rahimku. Namun, dengan sangat terpaksa, ovarium kananku harus diangkat. Kista yang sudah berukuran besar (menurut hasil USG, ukuran kistaku lebih dari 5 cm) tak bisa lagi disembuhkan hanya dengan obat, tapi harus dioperasi.
Meskipun sudah mendapatkan penjelasan dari dokter, karena aku dan suamiku masih kurang sreg, suamiku tak segera menandatangani surat persetujuan operasi yang disodorkan oleh rumah sakit. Setelah mendengar pertimbangan dari banyak teman, akhirnya aku dan suamiku memutuskan untuk konsultasi pada dokter lain dan memilih untuk check out dari rumah sakit tersebut.
Hasil konsultasi kami pada dokter lain, kami mendapatkan penjelasan yang jauh lebih gamblang mengenai penyakitku itu yang akhirnya memantapkan kami untuk menuruti saran dokter tersebut. (Menurut perkiraan dokter tersebut, ukuran kistanya sekitar 10 cm x 5 cm). Pada Jumat malam, aku masuk rumah sakit berbeda dimana dokter kedua tersebut praktik. Malam itu juga, dokter mengatakan operasi pengangkatan ovarium kananku akan dilakukan Sabtu pagi jam 7.30 WIB. Dan malam itu juga, aku sudah harus puasa dan dipersiapkan untuk menjalani operasi keesokan harinya.
Sabtu pagi sekitar jam 5, perawat sudah mulai menyiapkan aku untuk menjalani operasi. Detik demi detik menjelang operasi itu, tak dapat kupungkiri, aku sangat takut dan waswas. Aku mengkhawatirkan banyak hal, apakah rahimku akan tetap baik-baik saja dan apakah aku nanti bisa bangun lagi (hmmmm ... jujur, sebenarnya aku takut dengan “meja operasi”).
Ternyata tak hanya aku yang memiliki kekhawatiran seperti itu. Suamiku juga merasakan hal yang sama. Saat ranjangku akan memasuki ruangan operasi, aku bisa menangkap raut wajahnya yang sedih. Aku mencoba untuk tersenyum padanya untuk mengisyaratkan bahwa aku tidak apa-apa. Tapi, ketika dengan lembut dia mengecup keningku dan berbisik, “Sayang, I Love You”, air mataku merembes keluar. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Ingin rasanya aku bangkit dari ranjang dan berlari memeluknya sekuat mungkin.
Saat aku siuman di ruang pulih sadar, aku menemukan sosoknya di sampingku. Tapi, aku tak kuat untuk terjaga lama ataupun berbicara karena rasa kantuk hebat, terus menyerangku. (Setelah pulih, aku baru tahu kalau selama aku dioperasi, suamiku menangis di musola rumah sakit. Katanya, dia takut kehilangan dan takut aku tak bangun lagi setelah operasi. Hmm ... ternyata punya perasaan yang sama denganku :D).
Saat aku dibawa ke bangsal perawatan hingga lima hari aku dirawat di rumah sakit, suamiku selalu siaga merawat. Meskipun setiap magrib dia berangkat kerja dan baru pulang larut malam, kesiagaannya sebagai suami sangat membuatku terharu.
Begitu pula saat beberapa lama setelah aku keluar dari rumah sakit dan Allah kembali menghadirkan beberapa kali ujian kesehatan untukku, dengan sangat sabar dan lembut, dia merawat dan menjagaku. Tak pernah sekalipun dia mengeluh atau menunjukkan raut muka berbeban karena merawatku. Tak pernah pula dia marah, semuanya dilakukan dengan sangat baik dan penuh kelembutan. Entah terbuat dari apa hati suamiku, dia begitu baik.
“Sayang, maaf ya selalu merepotkan? Seharusnya bukan suami yang merawat istri, tapi istri yang merawat suami,” kataku padanya ketika sakit dan melihat semua yang dilakukannya untukku.
Tapi, dengan sangat lembut dan sekali lagi tak menunjukkan raut muka berbeban, dia selalu dan selalu menepisnya.
“Sayang, sama sekali tidak merepotkan. Suami istri tidak ada kata merepotkan. Jangan bilang kayak gitu lagi,” begitu jawabannya yang selalu diikuti dengan kecupan di keningku.
Setiap malam ketika dia tengah terlelap tidur di sampingku, tak jarang aku lama memandangi lekat-lekat wajahnya yang teduh. Betapa beruntungnya aku memiliki suami seperti dia. Lelaki yang sangat sabar, perhatian, penuh cinta dan kasih sayang.
Suamiku sayang, I Love You so much. Semua yang kau lakukan dan berikan buatku begitu berharga. Aku sangat terharu. Aku sering merasa khawatir kau akan jatuh sakit saat kau terlalu sibuk merawatku, melakukan ini dan itu atau pergi ke sana kemari. Dan itu semua untukku. Sayang, saat aku menulis ini, aku menangis karenamu. Betapa aku bahagia menjadi istrimu, sangat bahagia. Bolehkah aku mengajukan sebuah permintaan kepadamu? Sayang, menikahlah dua, tiga, empat kali atau lebih. Hanya denganku, denganku, denganku, denganku dan denganku. Menikahlah denganku, wanita tak sempurna yang sekarang jauh lebih tak sempurna dibandingkan dulu saat kau akan meminangku. Kau mau? Luv U ....
Suamiku, lelaki yang telah menikahiku pada 28 Maret 2010 lalu inilah yang sangat sangat setia di sampingku ketika aku terbaring sakit. Suamiku pula yang sangat siaga menjaga, merawat dan mengantarkan kemanapun aku pergi (karena kami memang hidup jauh dari orang tua, jadi apa-apa serba berdua). Romantisme .... :)
Ujian pertama datang pada pekan ketiga pernikahan kami. Secara tiba-tiba, pada suatu Jumat pagi, rasa sakit luar biasa menyerang perutku bagian kanan. Saking sakitnya, aku hampir tak bisa menahannya. Kedua tangan, kaki dan perutku kram. Kepala juga secara tiba-tiba diserang rasa pusing yang teramat sangat. Rasa mualpun juga tiba-tiba menyeruak. Aku hanya bisa menangis menahan sakit. Sementara suamiku sangat panik dan gugup melihat wajahku (yang katanya) pucat pasi.
Dalam keadaan panik karena aku terus menangis, suamiku membawaku ke rumah sakit. Setiba di UGD dan aku menjalani USG, betapa terkejutnya kami berdua. Dokter mengatakan bahwa di rahimku terdapat kista yang sudah berukuran besar sehingga saat itu juga harus dilakukan operasi pengangkatan. Menurut dokter, rasa sakit luar biasa yang kurasakan itu karena benjolan-benjolan pada kista yang sudah berukuran besar itu saling memelintir satu sama lain. Jadi, satu-satunya jalan adalah operasi.
Mendengar kata kista, rahim dan operasi, suamiku sangat panik. Kami berdua saling berpegangan tangan, menangis dan berdoa. Entah berapa lama dan berapa kali suamiku kemudian berkonsultasi dengan dokter mengenai penyakitku itu. Apakah rahimku akan diangkat atau tidak dan apakah aku bisa hamil atau tidak. Dari penjelasan dokter yang kemudian oleh suamiku disampaikan padaku, dokter takkan mengangkat rahimku. Namun, dengan sangat terpaksa, ovarium kananku harus diangkat. Kista yang sudah berukuran besar (menurut hasil USG, ukuran kistaku lebih dari 5 cm) tak bisa lagi disembuhkan hanya dengan obat, tapi harus dioperasi.
Meskipun sudah mendapatkan penjelasan dari dokter, karena aku dan suamiku masih kurang sreg, suamiku tak segera menandatangani surat persetujuan operasi yang disodorkan oleh rumah sakit. Setelah mendengar pertimbangan dari banyak teman, akhirnya aku dan suamiku memutuskan untuk konsultasi pada dokter lain dan memilih untuk check out dari rumah sakit tersebut.
Hasil konsultasi kami pada dokter lain, kami mendapatkan penjelasan yang jauh lebih gamblang mengenai penyakitku itu yang akhirnya memantapkan kami untuk menuruti saran dokter tersebut. (Menurut perkiraan dokter tersebut, ukuran kistanya sekitar 10 cm x 5 cm). Pada Jumat malam, aku masuk rumah sakit berbeda dimana dokter kedua tersebut praktik. Malam itu juga, dokter mengatakan operasi pengangkatan ovarium kananku akan dilakukan Sabtu pagi jam 7.30 WIB. Dan malam itu juga, aku sudah harus puasa dan dipersiapkan untuk menjalani operasi keesokan harinya.
Sabtu pagi sekitar jam 5, perawat sudah mulai menyiapkan aku untuk menjalani operasi. Detik demi detik menjelang operasi itu, tak dapat kupungkiri, aku sangat takut dan waswas. Aku mengkhawatirkan banyak hal, apakah rahimku akan tetap baik-baik saja dan apakah aku nanti bisa bangun lagi (hmmmm ... jujur, sebenarnya aku takut dengan “meja operasi”).
Ternyata tak hanya aku yang memiliki kekhawatiran seperti itu. Suamiku juga merasakan hal yang sama. Saat ranjangku akan memasuki ruangan operasi, aku bisa menangkap raut wajahnya yang sedih. Aku mencoba untuk tersenyum padanya untuk mengisyaratkan bahwa aku tidak apa-apa. Tapi, ketika dengan lembut dia mengecup keningku dan berbisik, “Sayang, I Love You”, air mataku merembes keluar. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Ingin rasanya aku bangkit dari ranjang dan berlari memeluknya sekuat mungkin.
Saat aku siuman di ruang pulih sadar, aku menemukan sosoknya di sampingku. Tapi, aku tak kuat untuk terjaga lama ataupun berbicara karena rasa kantuk hebat, terus menyerangku. (Setelah pulih, aku baru tahu kalau selama aku dioperasi, suamiku menangis di musola rumah sakit. Katanya, dia takut kehilangan dan takut aku tak bangun lagi setelah operasi. Hmm ... ternyata punya perasaan yang sama denganku :D).
Saat aku dibawa ke bangsal perawatan hingga lima hari aku dirawat di rumah sakit, suamiku selalu siaga merawat. Meskipun setiap magrib dia berangkat kerja dan baru pulang larut malam, kesiagaannya sebagai suami sangat membuatku terharu.
Begitu pula saat beberapa lama setelah aku keluar dari rumah sakit dan Allah kembali menghadirkan beberapa kali ujian kesehatan untukku, dengan sangat sabar dan lembut, dia merawat dan menjagaku. Tak pernah sekalipun dia mengeluh atau menunjukkan raut muka berbeban karena merawatku. Tak pernah pula dia marah, semuanya dilakukan dengan sangat baik dan penuh kelembutan. Entah terbuat dari apa hati suamiku, dia begitu baik.
“Sayang, maaf ya selalu merepotkan? Seharusnya bukan suami yang merawat istri, tapi istri yang merawat suami,” kataku padanya ketika sakit dan melihat semua yang dilakukannya untukku.
Tapi, dengan sangat lembut dan sekali lagi tak menunjukkan raut muka berbeban, dia selalu dan selalu menepisnya.
“Sayang, sama sekali tidak merepotkan. Suami istri tidak ada kata merepotkan. Jangan bilang kayak gitu lagi,” begitu jawabannya yang selalu diikuti dengan kecupan di keningku.
Setiap malam ketika dia tengah terlelap tidur di sampingku, tak jarang aku lama memandangi lekat-lekat wajahnya yang teduh. Betapa beruntungnya aku memiliki suami seperti dia. Lelaki yang sangat sabar, perhatian, penuh cinta dan kasih sayang.
Suamiku sayang, I Love You so much. Semua yang kau lakukan dan berikan buatku begitu berharga. Aku sangat terharu. Aku sering merasa khawatir kau akan jatuh sakit saat kau terlalu sibuk merawatku, melakukan ini dan itu atau pergi ke sana kemari. Dan itu semua untukku. Sayang, saat aku menulis ini, aku menangis karenamu. Betapa aku bahagia menjadi istrimu, sangat bahagia. Bolehkah aku mengajukan sebuah permintaan kepadamu? Sayang, menikahlah dua, tiga, empat kali atau lebih. Hanya denganku, denganku, denganku, denganku dan denganku. Menikahlah denganku, wanita tak sempurna yang sekarang jauh lebih tak sempurna dibandingkan dulu saat kau akan meminangku. Kau mau? Luv U ....
(Tulisan ini saya ambil dari catatan saya di akun FB saya dengan sedikit penyesuaian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar